• rss

Bungah Mapag Munggah (Ramadan Urang Sunda)

arsip kula|Selasa, 09 Juli 2013|13.32
fb tweet g+
TRADISI “mapag” Ramadan di tatar Pasundan menurut dosen UPI yang juga pengamat budaya, Elin Samsuri, disebut “munggah” atau “munggahan”. Secara etimologis, “munggah” atau “munggahan” berasal dari kata “unggah” yang memiliki arti “mancat” atau memasuki tempat yang agak tinggi.

Elin menuturkan, tradisi “munggahan” atau “mapag shaum” (menyambut puasa) dilakukan dengan berbagai cara. Antara lain “nadran”, “ngarewahkeun”, “kuramas”, “botram”, dan “nganteuran”.

“Nadran” dilakukan dua minggu sebelum Ramadan tiba. Dimulai dengan ritus Nisyfu Syaban berupa ngaos (membaca) Alquran semalam suntuk. Pada esok harinya dilanjutkan dengan kebiasaan ziarah.

Mereka juga berkunjung ke rumah orangtua atau yang dituakan, para sepuh, kiai, dan guru ngaji untuk meminta maaf dilakukan untuk saling ngalubarkeun dosa (membersihkan dosa) untuk menyambut puasa.

Kegiatan berikutnya ngarewahkeun atau sering disebut juga dengan sebutan mapag rewah. Berupa aktivitas saling berbagi rezeki. Tetangga yang mempunyai balong (kolam) akan ngabedahkeun (memanen) ikannya.

Di beberapa daerah seperti Sumedang, munggahan ditandai adanya kebiasan mayor, di Sukabumi botram, di Tasikmalaya bancakan, di Cianjur papajar, yaitu makan besar bersama keluarga dan sanak saudara sehari sebelum tibanya puasa. Di Sumedang terdapat istilah kental kentel, yaitu rereongan membeli kambing dengan cara anjuk ngahutang agar pada saat munggahan dapat membuat hidangan istimewa. “Yang penting semua bungah, gembira, bisa makan enak”, ujar Elin.

Sumber: Eriyanti/“Pikiran Rakyat” Senin 8 Juli 2013