Tradisi Jamasan: Warga Berebut Banyu Klemuk di Keraton

Sejumlah masyarakat Jawa ramai-ramai berebut air bekas mencuci sejumlah barang yang mereka anggap sebagai jimat, seperti keris dan kereta keraton, pada acara rutin yang yang disebut Jamasan tanggal Kliwon di Keraton Yogyakarta, Selasa (28/10/2014). Seperti Jamasan 23 kereta kuno milik di Museum Kereta Keraton Yogyakarta, yang dirutinkan setiap tahun, bertepatan Selasa Kliwon ataun Jumat Kliwon minggu pertama bulan Syuro.

 Tradisi Jamasan: Warga Berebut Banyu Klemuk di Keraton
MUKHIJAB /*PR*
ABDI Dalem Museum Kereta Keraton Yogyakarta menyiapkan kereta kuno yang akan dicuci “Jamasan” dengan air khusus, Selasa (28/10/2014). Upacara Jamasan benda berharga (jimat) Keraton dilaksanakan setiap Selasa Kliwon atau jumat Kliwon peertama pada bulan Syuro (muharam).*
Tradisi Jamasan tersebut masih mendapatkan perhatian warga, yang masih memercayai air bekas cucian memiliki tuah atau khasiat, terutama efek psikologis. Mereka yakin, misalnya jika dipakai membasuh muka atau mandi akan membuat seseorang awet muda dan sehat, untuk menyiram tanaman menjadi subur dan panennya bertambah banyak.

Kepercayaan atas mitos tersebut, menjadi magnet warga untuk mengerumuni prosesi Jamasan dan berebut air bekas cucian kereta yang disebut dalam masyarakat Jawa dengan istilah banyu klemuk.

Orang-orang tersebut berdatangan dari sejumlah daerah, ke Museum Kereta Keraton Yogyakarta Jalan Rotowijayan, Kecamatan Kraton Yogyakarta beberapa jam sebelum pemandian kereta. Mereka membawa botol plastik atau wadah lain untuk menampung air bekas cucian kereta.

Sebagian air yang diperoleh pengunjung untuk membasuh muka, badan, atau disiram ke tanaman atau barang lainnya di rumah atau di sawah mereka. “Air Jamasan yang saya bawa ke rumah untuk menyiram tanaman di sawah”, kata pengunjung Jamasan asal Bantul.

Pembasuhan kereta kraton dipimpin abdi dalem Keraton yang bergelar Penawu Joyo Wasito beserta prajurit lain yang ditunjuk. Tidak semua prajurit kraton boleh memandikan kereta, pejabat yang ditunjuk harus bersesuaian dengan tugas dan keahlian serta keilmuannya yang berkaitan dengan perawatan benda keramat.

Satu persatu kereta dikeluarkan sampai kereta ke 23, sesuai aturan internal Keraton Yogyakarta, kereta tertua usianya yang paling awal dimandikan, yaitu Kanjeng Kiai Jimat (1750), kereta yang dipakai oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I.

Penawu Joyo Wasito menyatakan Jamasan harus dilakukan rutin setiap tahun terhadap semua benda keramat milik kraton dan waktunya dijadwalkan secara khusus. “Jamasan kereta kencana di Museum Kereta Kraton jdawalnya jelas. Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon pertama pada bulan Syuro. Semua benda pusaka keraton harus dicuci, tidak boleha da yang tertinggal atau terlupakan tidak dicuci,” katanya.

Sumber: Mukhijab/*Pikiran Rakyat** Rabu, 29 Oktober 2014

Lembur Salawe Isinya Hanya 25 Rumah

DARI sekian banyak tempat di Tatar Galuh Ciamis, ada satu wilayah yang sejak zaman dulu hingga saat ini masih kental dengan tradisinya, yakni Lembur Salawe. Lokasinya di Dusun Tungggarahayu, Desa/Kecamatan Cimaragas, Kabupaten Ciamis.

 Lembur Salawe Isinya Hanya 25 Rumah
NURHANDOKO WIYOSO/*PR*
JURU pelihara situs cagar budaya Sang Hyang Maharaja Cipta Permana Prabu Galuh Salawe Iswanto Tirtawijaya dan Jagabaya Tanto Herdianto berdiri di pintu gerbang masuk Lembur Salawe, di Dusun Tunggarahayu, Desa/Kecamatan Cimaragas, Kabupaten Ciamis. Sejak dulu, di tempat tersebut hanya dihuni 25 tugu atau kepala keluarga.*
Sesuai namanya yaitu Salawe yang berarti 25. Di wilayah hanya di huni 25 tugu atau kepala keluarga.

Lokasi tersebut berada di sisi jalur alternatif Ciamis-Kota Bandar, lewat Kecamatan Cimaragas. Berjarak sekitar 400 meter dari Situs Sang Hyang Maharaja Cipta Permana Prabudigaluh Salawe. Situs yang juga menyimpan sebanyak 25 petilasan itu cukup asri karena banyak terdapat pohon besar.

“Sejak zaman nenek moyang sampai sekarang di lembur Salawe hanya dihuni 25 tugu atau kepala keluarga. Jumlah rumah juga hanya 25,” tutur Juru Pelihara Situs Sang Hyang Maharaja Cipta Permana Prabudigaluh Salawe, Iswanto Tirtawijaya (25), Rabu (5/10/2014).

Didampingi Jagabaya Tanto Herdianto (34), dia mengungkapkan, apabila ada keturunan tugu hendak membangun rumah baru, dia harus di luar lembur Salawe.

“Pada intinya jumlah tugu tidak pernah kurang atau bertambah, tetap 25,” katanya.

Seiring dengan perkembangan zaman, rumah tradisional yang sebelumnya berupa rumah panggung, saat ini sudah banyak yang diganti dengan rumah semipermanen. Meskipun demikian, menurut Iswanto, banyak warga yang kembali menginginkan membangun rumah tradisional.

“Tidak hanya bentuk rumah panggung, beberapa bagian ruangan dalam rumah juga ada bagian-bagiannya. Misalnya kamar, dapur, tempat menyimpan hasil panen dan lainnya,” jelasnya.

Perkembangan zaman tidak mengurangi atau melunturkan warga Salawe mempertahankan tradisi. Misalnya misalin atau ngikis yang digelar menjelang bulan Puasa.

Sebelum panen, warga juga melakukan ritus berdoa agar hasil mendatang melimpah serta bebas dari serangan hama.

“Sampai sekarang tradisi Misalnya misalin dan ritus menjelang panen masih kami pertahankan. Banyak nilai yang terkandung dalam kegiatan tersebut, tidak hanya yang tersurat atau yang tampak saja, tetapi juga makna yang tersirat,” katanya.

Tanto menungkapkan, salah satu makna salawe yang juga menjadi ciri khas daerah ini, pada masa lalu erat kaitannya dengan kegiatan warga. Dalam sehari warga harus melakukan 25 pekerjaan untuk menghidupi keluarganya. Kegiatan tersebut diawali dari bangun tidur sampai tengah malam.

“Sehari harus melakukan 25 pacabakan, pagawean. Misalnya mencangkul kemudian menanam pohon pisang, menanam sayuran. Istirahat, makan, dan tidur tidak masuk hitungan,” tuturnya.

Dengan 25 pekerjaan itu, seorang kepala rumah tangga atau tugu dapat menghidupi keluarganya. “Jadi tidak perlu keluar dari Salawe. Banyak pekerjaan di daerah sendiri yang bisa untuk menghidupi keluarga,” ujar Tanto.

Sumber: Nurhandoko Wiyoso/*Pikiran Rakyat** Kamis, 16 Oktober 2014

LEUNCA dan TAKOKAK: Tanaman Sejenis dengan Manfaat Serupa

SEBAGAI orang Indonesia, terlebih apabila hidup di lingkungan suku Sunda, tentu kita familier dengan tumbuhan leunca. Di rumah makan Sunda, dengan mudah dapat ditemukan buah leunca disajikan senbagai lalapan bersama daun salada, kacang panjang, mentimun, dan daun surawung.

Dirumah makan Sunda juga umumnya kita dapat memesan menu olahan leunca yang disajikan bersama ulekan cabai rawit merah, kencur, bawang putih, gula merah, dan terasi bakar yang kita sebut dengan karedok leunca. Ataupun dengan menumis leunca bersama oncom dan jadilah ulukutek leunca yang menggoda. Rasa pedas dari cabai rawit dan oncom ditambah sedikit sensasi pahit dan segar dari buah leunca tepat untuk dijadikan lauk pelengkap makan siang ataupun malam. Jadi, sebagai orang Indonesia, khususnya orang Sunda tentu kita akrab dengan nama leunca. Akan tetapi, seringkah kita mendengar tentang kembarannya, yaitu takokak?

LEUNCA dan TAKOKAK: Tanaman Sejenis dengan Manfaat Serupa
Takokak, Leunca (foto: Google)

Sepintas sulit membedakan kedua tumbuhan ini, karena leunca (Solanum nigrum L.) dan takokak (Solanum torvum Sw) memiliki kemiripan secara fisik sehingga keduanya digolongkan sebagai famili yang sama yaitu Solanaceae). Buahnya pun sekilas terlihat sama dengan bentuk bulat berwarna hijau ketika masih muda sehingga mungkin saja kita tidak mengenalinya apabila hanya terdapat satu jenis di depan kita. Namun, apabila kita membandingkannya bersamaan terdapat beberapa perbedaan.

Kulit buah takokak sedikit lebih tebal dibandingkan dengan buah leunca, begitu pula daun takokak lebih besar dibandingkan daun leunca. Batang takokak sedikit berduri sementara batang leunca tidak berduri. Apabila keduanya dimakan, barulah akan terasa perbedaan rasanya. Leunca seperti yang kita tahu memiliki rasa pahit dengan sedikit manis yang segar. Sementara itu, takokak memiliki rasa yang lebih pahit sehingga jarang ditemui sebagai masakan.

Kalau leunca umumnya ditemui sebagai pengan masyarakat Sunda, takokak mungkin tidak begitu umum dijumpai. Takokak banyak digunakan sebagai tambahan pada sayur gulai singkong di Sumatra Utara. Di daerah Sunda, pemanfaatan takokak contohnya di daerah kampung Gunung Leutik di Kacamatan Ciampea, Bogor digunakan dengan cara dimasak sebagai sayur dan dimakan langsung tanpa di olah.

Sayangnya, dari segi pemanfaatan, takokak masih kalah dibandingkan dengan leunca. Bakhan di Kampung Gunung Leutik, banyak tumbuhan takokak yang sudah ditebang dan tidak diurus dengan baik. Hal ini karena tempat tumbuhnya yang liar, lalu khasiatnya yang tidak banyak terdokumentasikan dan terpublikasikan secara empiris sehingga masyarakat menganggapnya sebagai tumbuhan pengganggu yang kurang menguntungkan. Padahal, ditinjau dari segi farmakologis keduanya memiliki kandungan kimia yang hampir sama khasiatnya.

Tanaman leunca sudah digunakan sebagai obat-obatan sejak 2000 tahun yang lalu. Tanaman leunca bisa digunakan sebagai obat untuk gatal-gatal dan luka bakar. Sejak dahulu kala, di Tiongkok leunca sudah dimanfaatkan sebagai antibakteri, diuretik, dan penurun demam. Di India, daun leunca digunakan untuk mengobati inflamasi dan penyakit kulit.

Tandon dan Rao pada tahun 1974 melaporkan bahwa buah dan jusnya dapat menyembuhkan penyakit perut dan demam sedangkan tunasnya dapat digunakan untuk penyakit kulit. Selain itu, bunga dan daunnya dapat digunakan sebagai penurun panas dan melawan efek overdosis dari alkohol. Daunnya yang dijus dapat digunakan sebagai obat cacing, nyeri pada sendi, serta sakit telinga.

Sementara itu, pada tahun 2005, Kala menyatakan bahwa takokak memiliki efek sedatif (mengantuk) dan diuretik. Daunnya digunakan sebagai penghenti pendarahan. Buahnya tidak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi, melainkan juga jamu dari buah tersebut sangat efektif untuk pengobatan batuk, penyakit hati dan limpa. Buah yang matang juga dapat digunakan sebagai sediaan tonik rambut, penambah darah, juga sebagai analgesik.

Ekstrak methanol dari buah dan daunnya dilaporkan memiliki aktivitas antimikroba. Arthan pada tahun 2002 menyatakan, buah takokak memilikisenyawa isoflavonoid sulfat yang memiliki aktivitas sebagai steroid. Takokak juga menunjukkan aktivitas antioksidan dan kemampuan memperbaiki DNA akibat radikal bebas. Ndebia pada tahun 2007 juga menyatakan bahwa ekstrak air dari takokak terbukti memiliki efek antiinflamasi dan analgesik.

Secara empiris di Ghana, Afrika Barat, para wanita yang baru saja melahirkan umumnya diberikan buah takokak untuk membantu mengembalikan vitalitas tubuhnya. Meski tidak terdokumentasikan secara ilmiah, dapat diamati bahwa wanita-wanita tersebut mampu menunjukan perbaikan kondisi kesehatan yang menunjukkan adanya korelasi terhadap peningkatan sistem daya tahan tubuh.

Peneliltian terakhir yang dilakukan oleh Syamsudin dan Hanggoro pda tahun 2014 menunjukkan bahwa memang terdapat ektivitas imunostimulan atau efek meningkatkan sistem daya tahan tubuh dari ekstrak etanol buah takokak dan ekstrak kering buah leunca. Mungkin inilah yang menjadi alasan di balik mitos orang Sunda yang konon tubuhnya lebih sehat dan tidak mudah terkena penyakit akibat mengonsumsi lalapan terus menerus.

Para leluhur tanah Sunda telah mewariskan kearifan lokal yang luar biasa banyaknya baik dari segi sosial, budaya, hingga kesehatan. Buah leunca dan takokak yang merupakan penganan turun-temurun pun rupanya menyimpan nilai-nilai kearifat yang sangat banyak khasiatnya. Sudah selayaknya tugas kita sebagai generasi penerus untuk mempelajarinya lalu menjaga agar warisan tersebut tidak punah.

Sumber: Aldizal Mahendra, mahasiswa Program Studi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran, dari berbagai sumber/*Pikiran Rakyat** Kamis, 4 September 2014