Gedung Paguyuban Pasundan

PERAN Paguyuban Pasundan dalam sejarah Bandung dan Jawa Barat tak bisa dipisahkan. Saat dunia mengalami krisis ekonomi, atau melaise, pada periode 1930-1940, kota Bandung mampu melakukan pembangunan besar-besaran. Mulai dari sekolah, pasar, bank, hingga gerakan kaum perempuan mampu didirikan di kota ini dengan bantuan Paguyuban Pasundan yang saat itu dipimpin oleh Oto Iskandar Di Nata.

Menjadi organisasi yang tersebar di berbagai daerah di Jawa Barat, Paguyuban Pasundan dibentuk di Jakarta (ketika itu Batavia) pada 1913. Siswa-siswa STOVIA yang berasal dari etnis Sunda sering berkumpul setiap Sabtu malam dan bercakap-cakap dalam bahasa Sunda. Lewat pertemuan itu meraka merasakan perlunya ada persatuan di antara orang-orang Sunda dan adanya satu wadah pergerakan di bidang Sosial-budaya. Saat Volksraad (Dewan Parlemen) berdiri, Paguyuban Pasundan kemudian memperlebar gerakannya di ranah politik.

Gedung Paguyuban Pasundan
Illistrasi: Parmaali/*PR*
Lokasi : Jalan Sumatera No. 41, Kecamatan Sumur Bandung, Kota Bandung
Berdiri : 1905 – 1915
Luas tanah: 1.630 M2
Luas banguan: 460 M2
Perkembangan sejarah: Didirikan sebagai rumah tinggal militer lalu pada 1939 dijadikan kantor pusat Paguyuban Pasundan
Selama 25 tahun semenjak Paguyuban Pasundan berdiri, masih berkantor di Batavia. Namun pada 1939, pada masa kepemimpinan Oto Iskandar Di nata, semua aktivitas pengurus pusat lalu dipindahkan ke Bandung, tepatnya ke Jalan Sumatera No. 41. Di Bandung, Paguyuban Pasundan lalu menempati sebuah gedung yang pada awal abad ke-19 didirikan sebagai rumah tinggal militer. Pada era tersebut, Bandung memang tengah dipersiapkan sebagai pusat militer Pemerintah Hindia-belanda. Banyak daerah yang dibangun untuk dijadikan kawasan militer, termasuk di antaranya area Archipelwijk atau area yang nama-nama jalanya menggunakan nama pulau-pulau di Nusantara.

Gaya arsitektur yang lazim dipilih untuk gedung-gedung militer itu adalah gaya neo-klasik. Dengan simetri, garis-garis bersih, dan penampilan rapi (uncluttered), Pemerintah Hindia-Belanda seakan ingin menunjukkan kedisiplinan dan kekokohan militernya melalui rancang bangunan. Karena itu, tak heran jika Gedung Paguyuban Pasundan pun ikut menggunakan gaya arsitektur ini. Namun, di gedung Paguyuban Pasundan gaya neo-klasikal tersebut dipadukan juga dengan gaya klasik-romantik. Hal ini terlihat dari ornamen atap jendela yang berbentuk melengkung, yang jadi ciri khas gaya klasik-romantik. Kedua desain ini dapat ditemui di bangunan-bangunan yang didirikan pada awal abad ke-19 seperti Kantor Detasemen Markas Kodam III/Siliwangi di Jalan Kalimantan Kota Bandung. Hampir berusia 100 tahun, saat ini gedung masih berdiri tegak bak saksi seluruh aktivitas Paguyuban Pasundan, yang usianya juga sudah mencapai satu abad.

Sumber: Vetriciawizach/Periset *Pikiran Rakyat** Minggu, 9 Desember 2012

Rumah Sakit Dustira - Cimahi

PADA abad ke-18, pemerintah kolonial Hindia Belanda mendirikan fasilitas militer di daerah Cimahi. Lokasi ini dipilih karena berdekatan dengan Kota Bandung, sebagai ibukota Hindia Belanda (saat itu). Didirikan pula rumah sakit militer untuk melengkapi keperluan para prajurit yang bertugas di sana. Rumah sakit yang berdiri di atas lahan seluas 14 hektare ini diresmikan pada 1887 dengan nama Militare Hospital. Desain bangunannya mengusung gaya arsitektur artdeco, khas Eropa. Setelah lebih dari satu abad usianya, hingga saat ini bentuk bentuk fisik bangunan rumah sakit tak banyak berubah. Bangunan bagian depan dan dindingnya dibiarkan sama seperti saat pertama kali dibangun. Atap rumah sakit pun masih menggunakan genting bergelombang dengan struktur kerangka yang terbuat dari kayu.

Rumah Sakit Dustira
Illistrasi: Ali Parma/*PR*
Lokasi : Jalan Rumah Sakit No. 1 Kota Cimahi
Pengelola : TNI-AD (Kodam III Siliwangi)
Pelayanan medis: Medical check up, dokter umum, dokter gigi, dokter spesialis/sub-spesial (anak, bedah umum, bedah saraf, bedah tulang, kebidanan dan kandungan, penyakit dalam, THT, mata, paru, jantung, rehabilitasi medik, radiologi, psikologi, jiwa, saraf, serta kulit dan kelamin.
Pelayanan Penunjang: Laboratorium Patologi Klinik, laboratorium Patologi Anatomi, Ct-scan, X-Ray, ECG, Endoscopy, Treadmill, Echocardiografi, Laparoscopi, Hemodialisa, Farmasi dan Konsultasi Gizi.
Fasilitas lainnya: UGD 24 jam, rawat inap, rawat jalan, kamar bedah, ICU, instalansi pendidikan, pemulasaran jenazah, kedokteran kehakiman dan forensik.
Setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Kerajaan Belanda pada 1949, kepemilikan Militare Hospital diserahkan kepada Tentara Nasional Indonesia (TNI). Rumah sakit ini kemudian berganti nama menjadi Rumah Sakit Territorium III dengan Letnal Kolonel dr Kornel Singawinata sebagai kepala yang pertama rumah sakit tersebut. Kemudian, dalam perayaan ulang tahun Territorium III/Siliwangi yang ke-10 pada 19 Mei 1956. Panglima Territorium III/Siliwangi Kolonel Kawilarang mengganti nama rumah sakit ini menjadi Rumah Sakit Dustira.

Penetapan nama tersebut sebagai bentuk penghargaan atas jasa dan perjuangan Mayor dr Dustira Prawiraamidjaja. Dustira adalah dokter tamatan pendidikan kedokteran di Geneeskundige Hogeschool (ika Saigaku atau Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta) pada tahun 1945. Dustira kemudian mengikuti pelatihan kemiliteran selama dua minggu. Setelah itu, ia ditugaskan membantu para korban perang, khususnya di front Padalarang, Cililin, dan Batujajar. Jumlah korban yang terus bertambah di tengah segala keterbatasan peralatan medis yang tersedia membuat Dustira kelelahan hingga akhirnya meninggal dunia pada 17 Maret 1946.

Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), Militare Hospital digunakan sebagai tempat untuk merawat tentara Jepang dan tentara Belanda yang menjadi tawanan tentara Jepang. Kendati merupakan rumah sakit militer, dalam perkembangan selanjutnya, Rumah Sakit Dustira menerima pasien dari kalangan masyarakat umum. Berbagai pelayanan medis dan pelayanan penunjang tersedia di sini. Atas prestasinya dalam pelayanan tersebut, pada November 2010 rumah sakit ini menerima sertifikat akreditasi 16 pelayanan dari Direktorat Jenderal Kekuatan Pertahanan Kementrian Pertahanan RI (Dirjen Kuathan Kemenhan RI)

Sumber: Hanif Hafsari Chaeza/Periset *Pikiran Rakyat* Minggu 2 September 2012

"Kilometer NOL" Bandung

Zorg, dat als ik terug kom hier een stad is gebouwd (Usahakan, jika aku kembali ke sini, di daerah ini telah dibangun satu kota)” – Herman Willem Daendels, 1810
SEMBARI menancapkan tongkat kayu, titah itu mengalir dari mulut Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels kepada Bupati Bandung RA Wiranatakusumah II, seusai peresmian jembatan Cikapundung pada 25 Mei 1810, Daendels memerintahkan pembangunan kota di sekitar tempat tertancapnya tongkat di sisi De Grote Postweg.

De Grote Posweg adalah Jalan Raya Pos sepanjang 1.000 kilometer yang dikerjakan selama setahun dengan sisitem rodi dan merenggut nyawa sedikitnya 12.000 pribumi. Jalur ini dibuat untuk mengangkut hasil perkebunan dari Anyer ke Panarukan. Salah satu perlintasannya adalah yang kini dikenall dengan ruas jalan Asai-Afrika di Kota Bandung. Menurut Daendels, jika ibu kota Kabupaten Bandung pindah ke sekitar jalan ini, kota akan ramai karena berada di jalur stategis.

Kilometer NOL
Illistrasi: Fian Afandi /*PR*
Lokasi : Jln. Asia Afrika No. 79 Kota Bandung
Penetapan: Mei 1810 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels
Peresmian: 18 Mei 2004 oleh Gubernur Jawa Barat H Danny Setiawan
Ide pemindahan ibu kota kabupaten sebetulnya sudah lama dipersiapkan Wiranatakusumah II. Dengan pertimbangan religi tradisional, ia membangun pusat pemerintahan pada lahan kosong tepi barat Sungai Cikapundung, tak jauh dari tongkat tersebut. Pembangunan dipimpin langsung oleh Wiranatakusumah II. Pertama kali ia mendirikan alun-alaun sebagai orientasi kota tradisional, bangunan pusat pemerintah (pendopo), masjid agung, dan pasar tradisional. Pada 25 September 1810, Kabupaten Bandung dipendahkan dari Krapyak (Dayeuhkolot) ke daerah yang kini disebut dengan Alun-alun. Disanalah kota Bandung terbentuk dan ramai dikunjungi. Wiranatakusumah II dijuluki sebagai The Founding Father of Bandung.

Pada pertengahan abad ke-19, hasil perkebunan Priangan meningkat dan menjadi magnet bagi pendatang luar kota untuk berdagang dan bermalam. Sejalan dengan dinamika keramaian, dibangun struktur gedung pemerintahan, hotel, kafe, pertokoan, transportasi, dan lain sebagainya. Hingga 1906, Kabupaten Bandung menjadi kotamadya Bandung. Tanggal kepindahan ibu kota kabupaten kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Bandung.

Kilometer Nol yang juga menjadi patokan pengiriman tarif pos kini diabadikan menjadi monumen yang terletak di depan kantor Provinsi Dinas Bina Marga Jawa Barat jalan Asia-Afrika No. 79 Bandung. Tulisan “CLN 18” pada tugu menunjukkan bahwa kota/daerah terdekat ke arah timur adalah Cileunyi, dengan jarak 18 kilometer. Sementara “PDL 18” menunjukkan bahwa kota/daerah terdekat ke arah barat adalah Padalarang dengan jarak 18 kilometer.

Sumber: Putri Khaira Ansuri/Periset *Pikiran Rakyat* Minggu, 23 September 2012

Nu Males Budi :: Dongéng

Aya Sakadang Beurit nu panasaran hayang ningali singa. Indit ka leuweung. Lebah handapeun tangkal anu ngaroyom daharnna, katingal aya hiji sato, gagah, jeung simaan deuih. Buukna jabrig, ririaban. Kuku-kukuna tembong sareukeut. Huntuna ranggĂ©tĂ©ng, “Leuh kawasna ieu sato anu disebut singa tĂ©h,” ceuk sakadang Beurit dina jero hatĂ©na.

Nu Males Budi :: Dongéng
ilustrasi: google
Éta singa jalu téh nundutan, tuluy baé héés. Sakadang Beurit nyampeurkeun Sakadang Singa nu keur tibra. Awahing ku panasaran, Sakadang Beurit téh maké jeung ngarampaan kumis Sakadang Singa. Mireungeuh sato anu katelah Si Raja Téga, kalah cicing baé. Sakadang Beurit beuki wani. Kalacat naék kana sirah Si Raja Leuweung, buuk Sakadang Singa téh dirampaan maké jeung ngilikan liang irungna. Biwir nu keur saré téh disuaykeun.

Sakadang Singa ngarasa aya nu uyup ayap kana beungeutna. Tuluy baĂ© matana mĂ©lĂ©tĂ©t. ‘Hah? Si Kunyang geuning? Bangkawarah! Keun siah!” ceuk dina hatĂ©na.

“Haciiiih…!” Sakadang Singa pura-pura beresin. Sakadang Beurit ngarĂ©njag, nepi ka awakna tijengkang. Nangkarak bengkang dina jukut. TĂ©mbong kuku-kuku singa geus ngurung awakna. RĂ©t tanggah, katingal Sakadang Singa tĂ©h, nyanggĂ©rĂ©ng, nĂ©mbongkeun sihung-sihungna.

“Duh Gamparan, kuring ulah dikerekeb!” ceuk Sakadang Beurit. Awakna ngadĂ©gdĂ©g.

“Ari ilaing atuh wani-wani culangung ka ngaing tĂ©h, Hah!” Dihakan siah ku ngaing!” ceuk Sakadang Singa.

Sakadang Beurit ceurik balilihan, bari mĂ©nta dihampura, Sakadang Singa ngarakacak hatĂ©na. ”Heug sakali ieu mah, ilaling ku ngaing dihampura,” pokna.

Aya kana dua taunna Sakadang Beurit teu papanggih deui jeung Sakadang Singa. Dina hiji mangsa di sisi leuweung, manéhna ngadéngé sora sato nu keur inghak-inghakan. Barang ditéang ka deukuet tangkal. Bréh baé katingali Sakadang Singa nu baréto ampir rék ngerekeb manéhna teu walakaya karungkup ku jaring.

“Sakadang Beurit, cing tulungan,” ceuk Sakadang Singa.

Sakadang Beurit tuluy nyĂ©gĂ©tan tali jaring tepi ka paregat. Sakadang Singa bisa lolos tina Ă©ta jaring. “Éh Sakadang Beurit, nuhun pisan, kuring geus ditulungan,” ceuk Sakadang Singa bungaheun pisan. (Sumber: Uwa Agah/Galura)