Merawat Kearifan Lokal, Merawat Kehidupan (Kampung Adat Cireundeu)

Merawat Kearifan Lokal
Sejumlah warga melakukan sungkeman pada perayaan Tutup Tahun 1934 dan menyambut Tahun 1 Sura 1944 Saka Sunda di Kampung Cireundeu Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Selasa (7/12/2010). Dalam perayaan yang diikuti seluruh warga Cireundeu itu, dilangsungkan berbagai acara mulai dari kesenian hingga wejangan para sesepuh. (ADE BAYU INDRA/*PR*)

Kampung Adat Cireundeu memiliki setidaknya empat keunikan. Yang pertama dan utama adalah bahwa sebagian besar warganya mengonsumsi beras singkong atau rasi sebagai makanan pokok dihasilkan dari ampas singkong racun (karikil) yang telah diambil acinya.

Sebelum menentukan singkong kerikil sebagai bahan pilihan makanan pokok mereka, para warga masyarakat telah mencoba berbagai jenis bahan makanan, seperti jagung (Zea mays), hanjeli (Coix lacryma-jobi), talas (Colocasia esculenta), ganyol (Canna edulis), dan sorgum (Sargum bicolor). Dalam mengonsumsi singkong, mulanya mereka hanya merebus. Belakangan mereka menemukan keterampilam untuk membuat bahan mirip nasi dari bahan singkong racun.

Keunikan inilah yang menjadi dasar mengapa Kampung Adat Cireundeu dipilih sebagai lokasi penerapan program Desa Wisata Ketahanan Pangan (Dewitapa). Saat ini, warga Kampung Adat Cireundeu --terutama para ibu-- mengembangkan kemampuan mereka untuk mengolah bahan baku singkong racun menjadi berbagai penganan yang banyak diminati orang.

Keunikan kedua adalah bagaimana masyarakat Kampung adat Cireundeu memandang alam sekitar tempat mereka hidup. Masyarakat Kampung Adat Cireundeu memandang lingkungan alam di sekitar mereka sebagai bagian dari kehidupan mereka. Mereka melakukan manajamen pemanfaatan lahan secara sistematik demi kelestarian lingkungan hidup. Setiap lahan di perbukitan pada umumnya dibagi menjadi tiga bagian.

Pertama, yaitu hutan di puncak bukit dijadikan leuweung larangan berupa hutan lindung. Bagian di bawahnya dijadikan leuweung tutupan sebagai hutan produksi. Yang terdekat dengan kampung menjadi leuweung baladahan atau lahan bertanam ketela pohon dan palawija lainnya.

Dengan pembagian zona (zonasi dalam pengertian RT/RW) yang sangan jelas ini, masyarakat melaksanakan kearifan hidup lokal, sekaligus memelihara lingkungan hidup mereka. Leuweung larangan, yaitu zona paling atas adalah zona hutan lindung yang tidak boleh diganggu.

Hal itu dimaksudkan sebagai upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup mereka. Dengan adanya hutan lindung, artinya tidak seluruh bagian hutan dapat dan boleh dieksploitasi sehingga kelesetarian alam tetap tertaga. Dengan terjaganya kelestarian alam akan terjaga juga sumber air yang merupakan kebutuhan pokok dari suatu lingkungan alam yang merupakan sumber kehidupan bagi tumbuhan, hewan, dan manusia. Dua zona lain dibawahnya, yaitu leuweung tutupan dan leuweung baladahan, dimanfaatkan untuk memproduksi keperluan hidup mereka.

Pengolahan lahan
Keunikan yang ketiga berkaitan dengan pengolahan lahan untuk menanam singkong. Untuk menjaga sesuburan lahan, pengolahan lahan yang digunakan untuk tanaman singkong. Penanaman singkong dilakukan secara berjangka. Dalam satu lahan yang luas, dibagi menjadi beberapa bagian dengan luas yang sama. Jarak tanam antarpohon diusahakan tidak terlalu sempit, yaitu kurang lebih 50 cm.

Penanaman bibit singkong (stek) diawalai pada lahan bagian pertama. Setelah penananaman pada bagian pertama selesai, akan dilanjutkan dengan pengolahan lahan bagian kedua. Pada lahan kedua ini pun dilakukan hal yang sala seperti pada lahan pertama, begitu seterusnya, sampai semua lahan yang digarap selesai ditanami singkong.

Selama menunggu waktu panen, petani akan kembali ke lahan pertama kali diolah, untuk memberisihkan tanaman-tanaman yang tumbuh liar di sekitar tanaman singkong tersebut. Pengolahan lahan dan penanaman singkong pada satu lahan memerlukan waktu sekitar satu bulan. Olah tanam seperti ini dilakukan karena dengan cara perti itu –sesuai dengan pengalaman mereka-- hasil yang diperoleh lebih berkualitas. Kandungan aci dalam singkong akan lebih baik.

Setelah usia satu tahun, petani akan mulai memanen singkong tersebut dengan bantuan saudara-saudaranya atau pun anak lelakinya. Setelah panen. Lahan tersebut diistirahatkan terlebih dahulu selama tiga bulan. Tujuannya adalah agar unsur hara dalam tanah dapat kembali subur. Sambil menunggu diistirahatkan petani kemudian akan menanam singkong di lahan lainnya sampai panen selesai. Setelah kurang lebih tiga bulan masa diistirahatkannya lahan pertama, kemudian petani akan menggarap dan mengolah lahan selanjutnya dan menanaminya kembali. Begitu seterusnya.

Keunikan yang ke keempat adalah masyarakatnya masih menganut kepercayaan yang disebut dengan Sunda Wiwitan. Masyarakat Kampung Adat Cireundeu menyebut diri mereka penganut Sunda Wiwitan. Sunda Wiwitan mengendung arti Sunda yang paling awal. Bagi mereka, agama bukan sarana penyembahan namun sarana yang harus diaplikasikan dalam kehiduapan. Mereka masih memegang teguh tradisi turun-temurun. Pangeran Madrais diakui sebagai pemimpin/imam mereka. Ia menganut kepercayaan Sunda Wiwitan tersebut. Ia jugalah yang dianggap sebagai nenek moyang warga Kampung Adat Cireundeu.

Esensi ajaran Pangeran Madrais adalah pembangunan jati diri bangsa yang berkorelasi dengan kecintaan pada tanah air. Istilah tanah air disebutnya sebagai tanah amparan. Disinilah terletak perbedaan mendasar antara Sunda Wiwitan dengan agama-agama yang diintroduksi dari luar Nusantara. Tampak kentalnya nilai-nilai kebangsaan dan kemandirian budaya dalam ajarannya.

Dari keunikan-keunikan yang dimilikinya itu, Kampung Adat Cireundeu memiliki apa yang disebut dengan kearifan lokal. Dari sisi nilai, kearifan lokal merupakan kekayaan yang patut dirawat. Pertanyaannya adalah dapatkan segala keunikan ini dijadikan kekayaan yang terus kepertahankan? Perlukah keunikan-keunikan tersebut ditularkan untuk warga kampung lain dalam rangka program ketahan pangan?

Sumber: Y Subagyo, perekayasa di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi / Pikiran Rakyat, Selasa 16 April 2013

MAPAG SRI, Cara Petani Syukuri Hasil Bumi

MAPAG SRI Cara Petani Syukuri Hasil Bumi
SAAT yang paling ditunggu petani adalah panen. Ketika itu, jerih payah mereka berbulan-bulan, sejak menanam hingga merawat, bisa terbayar. Maka tak heran jika berbagai bentuk perayaan digelar sebagai bentuk rasa syukur. Berkaitan dengan panen, di beberapa daerah di Indramayu, dikenal tradisi dengan istilah “Mapag Sri”.

Dalam bahasa Jawa, “mapag” berarti “menjemput”, sedang “sri” bermakna padi. Secara sederhana, “mapag sri” bisa diartikan sebagai tradisi menjemput padi, atau menjemput panen. Waktu pelaksaannya beberapa saat sebelum “panenraya” di desa tertentu, seperti yang digelar di Desa Juntinyuat Kecamatan Juntinyuat Kabupaten Indramayu, Minggu (31/3). Tradisi setahun sekali ini, digelar saat panen diperkirakan akan berlangsung baik.

Sejak pagi, sejumlah petani memulai aktivitas dengan menghias arak-arakan berupa sepasang “pengantin”, semacam boneka laki-laki dan perempuan. “Pengantin” tersebut kemudian di masukkan ke dalam kotak penuh hiasan dengan bentuk dasar berupa burung garuda. Di dalam kotak tersebut, digantungkan pula sejumlah ornamen berupa beragam hasil bumi.

Kemudian sekitar pukul 9.00 WIB, arak-arakan tersebut dibawa ke balai desa dengan diiringi nayaga lengkap beserta sindennya. Sementara di balai desa, petani lain dan sejumlah tokoh masyarakat menyiapkan arena untuk pertunjukan wayang kulit (berisi cerita seputar kehidupan agraris nenek moyang masyarakat setempat). Setibanya di balai desa “pengantin” dikeluarkan dari dalam garuda dan duduk di kursi layaknya mempelai pada resepsi pernikahan. Tak lama berselang pertunjukan wayang kulit dimulai.

Tepat tengah hari, selepas salat duhur, pertunjukan wayang kulit kembali dilanjutkan. Namun sebagian besar petani kembali membawa arak-arakan berkeliling di Desa Juntinyuat. Kali ini jumlah rombongan bertambah. Selain “pengantin”, garuda, dan nayaga, puluhan becak pun ikut ambil bagian. Rombongan ini kemudian berkeliling desa. Di bagian depan, ada anggota rombongan yang membawa kotak untuk diisi “saweran” dari warga yang sudah menunggu di pinggir jalan. Sementara di bagian tengah, ada juga anggota rombongan yang membawa ember, diantaranya berisi beras dan sejumlah jenis bunga. Dia bertugas menaburkan isi ember tersebut di setiap persimpangan jalan yang dilintasi.

Sekembalinya ke balai desa “pengantin” kembali disimpan pada tempatnya.

Sementara gelaran wayang terus berlanjut hinga tengah malam. Dalam beberapa hari ke depan, para petani Desa Juntinyuat siap menuai hasil jerih payah mereka di sawah. Hari Senin (1/4) mereka menuntaskan Mapag Sri, cara petani mensyukuri hasil bumi.

Sumber: Teks dan Foto J Pambudi / Pikiran Rakyat, Senin 1 April 2013