Akhirnya, Dapat Juga Foto/Gambar Rupa Iket Sunda

Saat itu di akhir postingan tanggal 24 Juli 2011. Saya berharap mendapat gambar model-model/rupa iket Sunda.

Setelah lebih dari setahun setengah mencari. Akhirnya saya mendapat beberapa gambar model/rupa iket untuk d simpan di arsip kula. Gambar-gambar/foto para anggota Komunitas Iket Sunda (KIS) ini, bersumber dari koran Pikiran Rakyat Edisi Minggu 20 Januari 2013 (Iket Mengikat Loyalitas Budaya).


Barangbang Semplak
Barangbang Semplak


Candra Sumirat
Candra Sumirat


Kampung_adat_Dukuh
Kampung adat Dukuh


Parekos_Nangka
Parekos Nangka



Julang_Ngapak
Julang Ngapak


Koncer
Koncer


Parekos_Jengkol
Parekos Jengkol


Kebo_Modol
Kebo Modol



Mahkota_Wangsa
Mahkota Wangsa


Kole_Nyangsang
Kole Nyangsang


Parekos_Gedang
Parekos Gedang


Buaya Ngangsar
Buaya Ngangsar

Iket Mengikat Loyalitas Budaya

Iket Mengikat Loyalitas Budaya
Agus Roche (kiri) bersama anggota Komunitas Iket Sunda (KIS) memakai beragam iket Sunda. Munculnya pemakaian iket Sunda itu karena kecintaan anak muda terhadap budaya Sunda. Komunitas itu juga menanam benih kreasi variasi iket. (foto: Pikiran Rakyat)

Masih berbicara tentang iket Sunda. arsip kula sebelumnya telah menyimpan Mengenal Iket Sunda dan Lagih Ngulik Rupa Iket, nih . Untuk melengkapi catatan tentang iket Sunda. Saya akan menyimpan juga artikel “Iket Mengikat Loyalitas Budaya” milik Dewiyatini yang dimuat di media cetak Pikiran Rakyat Edisi Minggu 20 Januari 2013.



Iket Mengikat Loyalitas Budaya

Nu lima diopatkeun. Nu opat ditilukeun. Nu tilu, diduakeun. Nu dua, dihijikeun. Nu hiji jadi kasep (Yang lima dijadikan empat. Yang empat dijadikan tiga. Yang tiga dijadikan dua. Yang dua dijadikan satu. Yang satu menjadi tampan)”.

KALIMAT itu diucapkan pengajar Filsafat Seni Prof Yakob Sumardjo saat mengajar mahasiswa pascasarjana di Sekolah tinggi Seni Indonesia (STSI), Kota Banding. Menurut dia, filsafat sunda yang merujuk alam.

Apakah kalimat tadi dikenal di kalangan orang Sunda masa kini? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Mari melihat ke fenomena yang muncul kini, saat iket menjadi tren di kalangan anak muda. Iket semula digunakan oleh masyarakat adat, namun sekarang tak lagi demikian. Anak-anak muda dengan berbagai macam motif dan gaya memakai iket tampak di setiap sudut Kota Bandung. Ada apakah ini?

Terlalu banyak pertanyaan yang muncul. Tokoh masyarakat Sunda, Eka Santosa mengurai sejumlah jawaban yang memungkinkan hal itu terjadi. Menururt Eka, fenomena ini terjadi secara alami. Ini menunjukan adanya kerinduan akan tata nilai-nilai lokal. “Penyebabnya pada kejenuhan akan modernisasi yang tidak menyelesaikan masalah. Yang ada malah merumitkan tradisi, sehingga ada keingian kembali pada tata nilai tradisional,” katanya.

Iket yang dipakai oleh generasi sekarang adalah sebagai sebuah identitas. Mereka sengaja menciptakan kekhasan iket yang mereka pakai untuk menunjukan siapa mereka. “Padahal, pemakaian iket itu penuh dnegan pemaknaan diri,” ujar Eka.

Dia memberi contoh di tengah masyarakat Baduy yang menjadi iket sebagai identitas diri sejak lampau. Orang bisa membedakan dengan mudah dari Baduy manakah seseorang dilihat dari iket yang dipakainya. Selain itu, iket juga merupakan komitmen pada diri yang harus terus terjaga.

Budayawan Sunda Nana Munajat menerjemahkan iket sebagai batasan diri yang memakainya. Iket yang dipasang di kepala orang Sunda, agar pemakainya tidak ingkah (lepas) dan ngencar (lepas) dari kasundaan. “Iket itu sabagai ikatan bagi pemakainya.” Ucapanya.

Kebanggaan memakai iket sekaraang tinggal diarahkan pertanggungjawabannya melestarikan budaya lokal. Namun, tidak bisa dipungkiri berbagai macam kreativitas gaya memakainya. Dulu, menurut Nana, dikenal tujuh gaya memakai iket, diantaranya, parekos nangka, lohen, tutup liwet atau julang ngapak, barangbang semplak, balukar peunggas, sampai, dan kole nyangsang. “Munculnya banyak gaya memakai iket untuk kreativitas itu sah-sah saja. Karena iket juga tidak bisa diklaim begitu saja sebagai milik masyarakat Sunda. Daerah lain juga memiliki. Yang membedakan cara berpikir yang mesti selaras dengan pakaian yang digunakan,” kata Nana.

Nana juga mengapresiasi keinginan pemerintah mewajibkan memakai iket. Namun tidak hanya memakai, diisi pula makna dari iket itu. “Untuk apa kepala dipakaikan iket kalau isinya tetap ngencarngencar. Fungsi iket kan, agar kita tidak ingkah dari budaya dan agama,’ tutur Nana.

Kalimat yang diucapkan Prof. Yacob Sumardjo tadi sudah dikenal oleh orang Sunda sejak di masa lampau. Kalimat itu pula yang mudah diingat ketika melipat kain iket Sinda untuk dipasangkan di kepala. Yacob mengatakan filsafat alam itu pula yang ada dalam iket. Ia menggambarkan iket sebagai mandala (mata angin) yang memiliki pusat di bumi. Itu pula digambarkan dalam warna-warna dasar iket yang selalau dekat dengan alam. “ketika dari lima jadi satu, maka ia berusaha mendekatkan driri dengan Tuhan yang satu. Setelah dekat dengan Tuhan, maka pemakainya akan tampan luar dalam,” ujar Yacob.

Hal senada juga diungkapkan salah seorang pendiri Paguyuban Sundawani Robby Maulana Dzulkarnaen. Menurut dia, fenomena maraknya pemakaian iket, khususnya di kalangan muda bisa diartikan sebagai tanda bangkitnya budaya Sunda. Meski ini baru menjadi ciri, tapi diharapkan bisa mendongkrak kesadaran dalam bertingkah laku. “Malu dengan iket jika ternyata masih berbuat di luar Kasundaan,” katanya.

Robby melihat fenomena ini menjalari kaum muda. Dengan begitu, antara kaum muda dan kaum sepuh sama-sama menyadarkan diri. (Dewiyatini/”PR”)

Sekilas Tentang Masuk Angin dan Kerokan

Sekilas Tentang Masuk Angin dan Kerokan
Masuk angin sebetulnya hanyalah gabungan dari beberapa gejala gangguan kesehatan, seperti kedinginan, perut kembung, sekujur badan terasa sakit, rasa mual, diare, berkeringat dingin, bahkan hingga gangguan nafsu makan. Di Barat, masuk angin dikenal sebagai catching cold.

Masuk angin bukan berarti terdapat angin ataupun makhluk halus yang masuk dalam tubuh seperti yang diyakini penduduk di banyak wilayah Asia, tetapi disebabkan terjadinya penyempitan pada pembuluh darah akibat bereaksi dengan udara dingin dan pembuluh darah menjadi kaku. Akibatnya pasokan oksigen ke seluruh tubuh akan berkurang sehingga menimbulkan berbagai gangguan seperti nyeri otot atau pegal-pegal.

Selain itu, suhu tubuh yang turun akan mengakibatkan turunnya daya tahan tubuh dan menjadi rentan akan serangan-serangan virus dan bakteri. Dalam dunia pengobatan modern sendiri belum ada obat yang secara spesifik mampu menyembuhkan penyakit tersebut, sehingga warga lokal di beberapa wilayah Asia menggunakan beberapa metode, salah satunya adalah kerokan.

Di beberapa negara Asia, kerokan cukup pupoler. Di Cina, kerokan dikenal sebagai gua sha, di Vietnam sebagai cao gio, dan di Kamboja sebagai goh kyol. Metode-metode ini memiliki persamaan yaitu menggunakan minyak dan koin untuk digesekkan di punggung sehingga membentuk garis-garis berwarna merah. Nyatanya, persepsi di Cina, Kamboja, dan Vietnam hampir serupa dengan Indonesia bahwa metode ini akan mengusir angin yang mengganggu di dalam tubuh. Hinggga saat ini, belum ditemukan literatur resmi yang memuat asal-asul kerokan. Namun, diperkirakan kerokan menyebar melalui jalur perdagangan pada sekitar abad awal masehi.

Mekanisme kerja metode ini belum dapat dijelaskan secara lengkap. Di Vietnam, dipercaya juga bahwa justru minyaknyalah yang menyembuhkan penyakit tersebut, yaitu Tiger Balm yang merupakan campuran dari mentol, kamfer, minyak kayu putih, minyak tunas cengkeh, dan minyak kasia yang dipercaya memiliki efek terapis pada gejala-gejala tersebut.

Penjelasan ilmiah pada saat ini hanya mampu menelisik beberapa hal saja. Kerokan bekerja dengan cara memperlebar pembuluh darah kulit. Biasanya, digunakan di punggung, dan memecahkan pembuluh darah kapiler di permukaan kulit sehingga pembuluh darah di sekelilingnya akan melebar. Seiring dengan melebarnya pembuluh darah, akan terjadi migrasi sel darah putih yang berfungsi untuk kekebalan tubuh dan akan menyerang antigen-antigen asing di sepanjang daerah migrasinya. Pecahnya pembuhuh darah akan memengaruhi jumlah beberapa senyawa kimia seperti beta endorfin. Beta endorfin akan membuat tubuh terasa nyaman dan berefek candu, sehingga mengakibatkan ketagihan. Selain itu, kerokan juga akan menaikkan suhu tubuh sekitar 0,5 – 2 derajat Celsius, sehingga tubuh terasa hangat kembali.

Namun, kerokan memiliki beberapa bahaya. Kerokan dapat menyebabkan terbukanya pori-pori kulit, sehingga udara dingin akan mudah masuk ke dalam tubuh. Selain itu, senyawa beta endorfin yang dimiliki tubuh akan mengakibatkan efek candu dan akan berbahaya apabila kerokan digunakan terus-menerus karena akan menyebabkan pembuluh darah kapiler pecah dan dikhawatirkan pada akhirnya tidak dapat beregenerasi lagi.

Oleh karena itu, ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk menangkal efek samping kerokan tersebut. Pertama, jangan mengunakan kerokan dalam frekuensi yang terlalu sering, agar pembuluh darah yang pecah dapat beregenerasi kembali.

Kedua, gunakan minyak atau salep yang hanyat seperti minyak kayu putih, atau dapat menggunakan campuran minyak kelapa dan irisan bawang merah, dan lainnya yang dapat memberikan efek terapi pada tubuh sehingga walaupun pori-pori kulit terbuka tetapi tubuh tetap terasa hangat.

Sekali lagi penting untuk diingat bahwa setiap mengobatan modern maupun tradisional memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Metode pengobatan dikatakan berbahaya atau tidak, tergantung dari kita sebagai penggunannya.

(Sumber: Aldizal Mahendra, mahasiswa Farmasi S-1 Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran / Pikiran Rakyat)

Menelusuri Kembali Penemuan Kamera

Menelusuri Kembali Penemuan Kamera
Apa yang dilakukan manusia untuk mengabadikan sesuatu yang dilihat oleh mata, telah dimulai sejak 336 SM. Saat itu Aristoteles memperkenalkan teknologi “lubang jarum”. Aristoteles mengatakan bahwa cahaya yang melewati lubang kecil akan membentuk kesan atau gambar atau image.

Abad ke-11 ditemukan kamera obscura yang ditemukan oleh seorang Alhazen. Kamera ini berbentuk ruangan khusus yang didalamnya dipantulkan cahaya yang terdiri dari dua lensa konveks.

Gerolomo Cardano matematikawan asal Italia, antara tahun 1501-1576 memperkenalkan teknologi orbem e vitro, yang disebut sebagai nenek moyang lensa kamera. Lensa mempunyai peran penting pada sebuah kamera. Tanpa lensa, kamera tidak akan bisa mengambil gambar. Tugas lensa adalah mengambil cahaya dari subyek agar masuk ke dalam fokus sehingga bisa menghasilkan gambar yang bagus.

Pada tahun 1852, Fredrick Scott Archer membuat temuan mencetak foto cepat. Hanya dalam waktu 3 detik saja! Teknik yang dinamakan collodion ini mencetak gambar pada saat plat film masih dalam keadaan basah.

Tahun 1888 kamera Kodak protable box diperkenalkan oleh Eastman ke publik. Alat ini lebih ringkas dan sederhana daripada alat-alat fotografi sebelumnya. Alat ini sudah bisa digunakan oleh setiap orang karena mudah digunakan.

Tahun 1924, Leitz memperkenalkan Kamera Leica yang kecil dan sederhana dalam penggunaannya. Kamera ini dijadikan standar para jurnalis di masa itu.

Tahun 1947, Edwin Land menemukan kamera Polaroid yang memungkinkan mencetak gambar secara langsung tanpa memiliki negatif film, kamera film instan digunakan langsung di dalam kamera tersebut.

Kamera video yang bukan hanya bisa merekam gambar bergerak, tapi juga suaranya berhasil diciptakan oleh Philips dan Sony pada tahun 1979. Meraka juga memperkenalkan kaset video sebagai media perekamnya.

Kemudian pada tahun 1986, Kodak berhasil menemukan teknologi fotografi tanpa film, yakni melalui sebuah sensor pada kamera yang bisa merekam 1,4 juta elemen gambar. Kemampuan merekam gambar inilah yang kemudian disebut sebagai megapixels.

Tahun 1990, Kodak memperkenalkan kamera digital pertama di dunia.** (Sumber: Septi/Pikiran Rakyat)

Sasakala Lalay :: Dongéng

Sasakala Lalay :: Dongéng
ilustrasi: Mangle
Jaman baheula di tutugan gunung Galunggung aya padépokan katelah padépokan Watukancana. Anu ngaheuyeuk éta padépokan jujulukna Resi Anggana Manik. Anjeunna hiji Resi anu kakoncara luhung élmu jembar panalar, kalangenan Éyang Resi ti waktos anom kénéh resep ngempelkeun batu ali.

Rupi-rupi batu permata parantos kagungan, kayaning jamrut, angkik, mérah delima sareng sajabinan parantos sarajut ageung seueurna. Tapi aya kénéh anu jadi kapansaran Éyang Resi, aya kénéh nu dipikapalayna nya éta batu wulung. Para catrik diutus ka tiap madhab, nguriling ka tepis wiring, ngambah ka pilemburan sugan aya sumebar béja di mana batu wulung.

Kocap aya selenting bawaning angin, béja nu pabéja-béja, cenah dina gawir cadas nu garawés tonggoheun léngkob Kupuk Cangéhgar, mun isuk-isuk atawa soré sok katémbong aya cahaya konéng semu beureum nyéngcélak.

Catrik Ki Tirtaguna gancang piunjuk wawartos ka Éyang Resi ngeunaan éta béja. Atuh Éyang Resi kacida ngaraos bingahna. Saterusna Éyang Resi kalayan diiring ku paracatrik, jengkar ngajugjug tempat anu ceuk béja téa. Anjog ka tempat anu dijugjug téh wanci pasosoré. Enya baé sakumaha anu ceuk béja téa téh nyata.

Tapi rék kumaha bisana nyandak barang anu dimaksud, pisakumahaeun bakal bisa disorang, lantaran pernahna dina sela-sela batu gawir cadas anu nangtawing, pamohalan bisa ditaékan. Éyang Resi lajeng calik sidakep, meleng neneda kénging ilapat. Saterusna Éyang Resi lajeng gugupay, téléndén aya beurit nyampeurkeun. Ku Éyang Resi éta beurit téh dicaritaan sangkan mangnyokotkeun itu barang nu cahayaan konéng semu beureum di jero sela-sela batu dina gawir cadas. Pikeun beurit teu héséeun, babarieun pisan nérékél naékan gawir téh. Atuh sadepan ogé geus turun deui bari ngégél batu wulung anu hérang ngempur konéng sari beureum. Éyang Resi tumanya ka beurit, sabada ngalaksanakeun piwarangna hayang naon éngké beurit baris dilaksanakeun. Sakadang beurit nyarita yén manéhna hayang bisa hibeur. Mungguhing Éyang Resi anu linuhung élmu, harita kénéh anjeunna ngaluarkeun sulampé tina saku jubahna, teras dirungkupkeun kana awak sakadang beurit. Dihin pinasti dadak sakala sulampé jadi sakulit sadaging kana awak sakadang beurit ngajadi jangjang sarta terus bisa hiber.

Sakadang beurit laksana sakahayang bisa hiber, kitu deui Éyang Resi tinekanan. Ti harita éta sato jajadian téh katelahna lalay,** (Sumber: Odjo AD / Galura)

Bubur Suro, Tradisi Bulan Muharram di Rancakalong

Bubur Suro, Tradisi Bulan Muharram di Rancakalong
Ritual Bubur Suro di Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang memperlihatkan perpaduan budaya agraris pengaruh India, Sunda, Jawa, dan Islam.

Setiap bulan Muharram, dalam bahasa Jawa bulan Suro, tanggal 9 dan 10, warga di Kecamatan Rancakalong membuat bubur Suro. Bubur yang dibuat dari berbagai macam umbi-umbian dan buah-buahan, semua dijadikan satu. Menurut Aki Anang Gunawan (75 tahun) sesepuh lembur Cijéré, Desa Garawangi, Kecamatan Rancakalong, dahulu bahan untuk membuat bubur Suro harus seribu macam/jenis. Tetapi sekarang sangat sulit untuk memenuhi syarat tersebut (seribu bahan). Supaya memenuhi syarat seribu macam bahan, bubur dicampur dengan pisang/cau Sewu.

Bubur Suro diperuntukan mengingat/memperingati Kanjeng Nabi Nuh. Nabi Nuh dalam peristiwa banjir besar, di kapalnya membawa berbagai macam umbi-umbian dan buah-bahan. Selama di atas kapal Nabi Nuh beserta para pengikutnya tak sampai merasakan kelaparan.

Dinamai bubur Suro karena dibuatnya pada bulan Suro, bulan pertama dalam penanggalan Jawa. Oleh leluhur Rancakalong dahulu, bubur Suro dipadukan dengan tradisi agraris. Itu sebabnya sekarang dalam ritual bubur Suro, terdapat ritual-ritual yang bertalian dengan tradisi agraris.

Sehari sebelum bubur Suro, malamya berlangsung ritual yang terasa sakral dan penuh mistik, di dalamnya ada juga pengaruh Islam. Disediakan sesajen berupa bubur beureum/merah, bubur bodas/putih, puncak manik, kupat dupi tangtang angin, bakakak hayam/ayam. Tujuh macam rujak, tujuh macam kembang/bunga, tak tertinggal parupuyan terus menyala membakar kemenyan.

Sesajen juga dilengkapi dengan kepala boneka kayu berbentuk wanita memakai karémbong/kain penutup kepala. Disamping boneka ada balutan iket yang berisi uang. Boneka wanita melambangkan Sri Pohaci yang memelihara padi, kalau di Jawa disebut Dewi Sri. Iket yang membungkus uang melambangkan laki-laki.

Dengan demikian, walau bubur Suro untuk memperingati Nabi Nuh dalam peristiwa banjir besar. Tetapi oleh leluhur Rancakalong dikaitkan dengan ritual budaya agraris. Umbi-umbian dan buah-buahan semuanya hasil pertanian, tanah menjadi media tanamnya. Itu sebabnya dalam sesajen disertakan boneka Sri Pohaci sebagai lambang kesuburan. (sumber: Nanang S./Galura; gambar: Addor Smd/Facebook)