Seni Tradisional Wayang Orang Bekasi

Seni Tradisional Wayang Orang Bekasi
RETNO HY/PR
PERGELARAN seni tradisional wayang orang Bekasi dengan dalang Ki Sukarlan di Teater Terbuka Balai Pengelolaan Taman Budaya Jawa Barat, Bandung, Sabtu (6/10) malam.**
Wayang orang Bekasi, menurut KI Sukarlana, sudah ada sejak tahun 1920-an yang berkembang di daerah Cakung. Saat itu wayang orang Bekasi dikembangkan oleh dalang Marjuki dan diturunkan kepada putranya yaitu dalang Subur.

Perpaduan tiga budaya, berupa bahasa (Betawi, Sunda, Jawa) yang dipergunakan dalam dialog maupun tembang-tembang yang dilantunkan juru kawih. Demikian pula dengan perangkat alat musik yang dipergunakan, seperti terompet dan rebab (Sunda), gambang (Jawa), serta simbal (Betawi). Pergelaran wayang orang Bekasi menjadi nontonan yang sangat menarik.

Wayang orang Bekasi tidak sepopuler wayang orang Jawa (wayang Wong). Selama ini, wayang orang Bekasi hanya dimainkan di daerah pinggiran, lokasi asal tumbuhnya wayang orang Bekasi. Sepanjang perjalanan riwayatnya, wayang orang Bekasi tampil dengan penuh keserderhanaan.

Sumber: Retno HY/*Pikiran Rakyat***

Spiritualitas Masyarakat Sunda

Ketika berkunjung ke Bandung pada 1921, George Celemenceau, Perdana Menteri Prancis kala itu, menyatakan bahwa Bandung adalah The Garden of Allah. George celemenceau terpesona akan lingkungan alam Jawa Barat yang asri dikelilingi gunung menjulang, berhutan rimbun dan hijau, kaya mata air panas ataupun dingin.

Bagi orang Sunda, lingkungan alam yang harmonis membentuk diri dan pandangan hidupnya. Kecenderungan spiritualitas yang kental tercermin dari nilai-nilai moralitas positif. Ini dapat ditelusuri dari naskah-naskah Sunda kuno, misalnya Amanat dari Galunggung. Naskah ini berisi pedoman bagi para pemegang kekuasaan. Dinyatakan bahwa apabila ingin menang perang, jangan suka bentrok, berselisih maksud, saling berkeras hanya pada keinginan sendiri.

Diajarkan pula agar orang Sunda berjiwa seperti padi, semakin berisi semakin merunduk; dan seperti sungai (patanjala), yang airnya terus mengalir dari hulu ke hilir sampai tujuan, yakni di muara.

Dengan pandangan hidup demikian, hidup dan kehidupan orang Sunda cenderung rendah gejolak, tipis friksi, jauh sengketa, familiar, dan kolegial.

Dari penelusuran sejarah, religiositas orang Sunda berasal dari Hindu (abad ke-5 s.d. abad ke-7), lalu Budha, dan berakulurasi dengan budaya spiritual Sunda (nilai-nilai kepercayaan pada Tuhan) sehingga menghasilkan akulturasi tiga sistem religi, Hindu, Budha, dan kepercayaan asli Sunda.

Sunda dan Islam
Kemudian, Islam masuk mewarnai spriritualitas orang Sunda. Orang Sunda yang telah memilki kecenderungan sprirtual religius menerima dengan damai ajaran Islam. Sebagian orang Sunda masih menggenggam nilai-nilai ajaran buhun (lama). Mereka menyembah atau menghormati arwah leluhur dengan pelbagai praktik ritual yang bertahan dan melembaga secara turun-temurun. Misalnya, pada masyarakat Baduy di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Demak, Banten Selatan.

Dalam kehidupan sehari-harinya, masyarakat Baduy memiliki berbagai pantangan (tabu). Pantangan ini didasarkan pada aturan-aturan adat (pikukuh) yang diwariskan oleh keluhur. Mereka beranggapan bahwa mereka tinggal di daerah yang suci atau sakral, mereka harus memelihara adat yang telah diwariskan secara turun temurun oleh leluhur. Berdasarkan adat itu. Mereka harus hidup sederhana dan bekerja keras secara seksama yang disebut tapa. Melalui tapa, mereka menghindari hidup mewah dan tidak mau meramaikan Negara. Menurut ungkapan Baduy, mereka lebih menekankan hidup jujur (bener) daripada hidup pintar, tetapi pandai menipu (pinter henteu bener). Dalam perkembangannya, ajaran Islam mewarnai agama Sunda wiwitan yang dipeluk oleh masyarakat Baduy.

Bagi masyarakat Baduy, berladang (ngahuma) merupakan kegiatan utama yang diajarkan oleh agama Sunda Wiwitan. Berbagai upacara adat yang mereka selenggarakan seperti ngalaksa dan kawalu, teritegrasi dengan ngahuma. Upacara kawalu dianggap sebagai cara persembahan kepada nenek moyang (karuhun) setelah panen padi. Upacara kawalu di Baduy dipimpin oleh pemimpin agama yang disebut Puun. Sementara upacara ngalaksa dipimpin oleh staf Puun yang sebut Jaro Dangka.

Di dalam praktik berladang (ngahuma), mereka memercayai adanya Dewi Padi yang disebut Pohaci Sanghyang Asri atau Nyi Pohaci. Menurut kepercayaan masyarakat Baduy, Nyi Pohaci di Kahyangan yang dianggap tempat roh manusia. Mereka sangat menghormati Nyi Pohaci karena, menurut mereka, dengan cara demikian mereka akan mulia. Mereka juga berharap bahwa kelak jika meninggal, rohnya akan dikirim kembali ke Kahyangan dan ditempatkan bersama-sama dengan Nyi pohaci.

Menurut adat masyarakat Baduy, bertani sawah (nyawah) menggunakan tekn0logi, seperti cangkul, pupuk kimia, pestisida, serta meracuni satwa liar dan ikan merupakan pantangan (tabu)- teu wasa. Mereka menghindari hal-hal tersebut karena dianggap sebagai tradisi baru. Sebaliknya ngahuma dianggap sebagai kewajiban dalam agama mereka. Maka setiap tahun keluarga Baduy harus menggarap ladang.

Ngahuma, dengan demikian, selain memiliki fungsi identitas dan spiritualitas, juga memiliki fungsi ekonomi. Kendati secara ekonomi berladang tidak atau kurang menguntungkan, praktik ini harus tetap mereka lakukan sebagai kewajiban. Hal itu saja dinilai tidak lazim oleh pandangan ekonomi barat yang mendasarkan pemikirannya pada perilaku ekonomi modern (formalis). Perilaku berladang masyarakat Baduy bisa langsung karena mereka menerapkan pola ekonomi substantive dan sangat terikat dengan budaya setempat (embedded in culture).

Uga sebagai Ramalan
Dalam dinamika spiritualitasnya, orang Sunda percaya kepada uga, yaitu ketentuan takdir yang dilahirkan dalam bahasa perlambang yang harus ditafsirkan dengan tepat. Sampai sekarang, masih ada sekelompok orang Sunda (misalnya di Kabupaten Sukabumi) yang selalu berpindah-pindah tempat tinggal sesuai dengan petunjuk uga. Menurut uga, mereka baru akan menetap dan Negara akan makmur sentosa apabila mereka sudah menemukan Lebak Cawene (Lembah Perawan) sebagai tempat tinggal.

Ungkapan-ungkapan yang terdapat dalam uga biasa digunakan orang tua untuk memahami “tanda-tanda zaman”, meramalkan adanya suatu perubahan sosial politik pada masa yang akan datang, di lingkungan mereka tinggal. Kata-kata yang dipergunakan sederhana, dalam bahasa sedang atau kasar (menurut tingkatan bahasa dalam bahasa Sunda).

Selain aspek simbolis, dalam uga terkandung unsur waktu. Dalam tradisi Sunda ada ungkapan, ‘Geus nepi kana ugana, geus nepi kana waktu anu dituju ku karuhun” (sudah sampai pada uga-nya, sudah tiba saat yang diramaikan leluhur). Ini menunjukkan bahwa dalam ramalan berbentuk uga, faktor waktu merupakan sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan. Akan tetapi unsur waktu yang terkandung dalam uga bersifat tidak pasti; artinya, bisa terjadi kapan saja, besok atau lusa, tahun depan, atau mungkin tidak pernah terjadi.

Bandung heurin ku tangtung” (Bandung penuh sesak dengan bangunan) merupakan sebuah contoh uga yang ringkas dan popular. Sebuah kondisi yang diramalkan para karuhun Sunda zaman dahulu dan kurang lebih telah terbukti terjadi sekarang dengan berbagai konsekuensinya.

Sumber: Wildan Nugraha, Alumnus Faperta, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Universitas Padjadjaran. Bergiat di Komunitas titikluang dan Forum Lingkar Pena Bandung,/*Pikiran Rakyat**

Motif Batik di Daerah Jawa Barat

Dulu mah baheula pisan waktu kecil, tahu namanya batik hanya berupa kain (samping kebat jeung samping sarung) yang biasa dipakai perempuan. Mulai beranjak jajaka saat harus pergi ke kota, saya mengenal nama-nama batik dalam bentuk berbeda. Ini mah ga asing buat orang Bandung. Di seputar Jln P.H.H Mustofa (jalan Suci) terdapat permukiman, motif batik dijadikan nama-nama jalannya. Beuuuhhhh, kiwari mah batik dipikawanoh pisan, digunakan dan dinikmati dalam bentuk apa pun.

Tiap-tiap daerah di Nusantara ini memiliki ciri khas tersendiri, termasuk motif batik yang ada di tatar Pasundan.

Motif batik yang ada di Jawa Barat secara umum sangat identik dengan motif alam, tumbuhan, dan binatang. Kali ini arsip kula menyimpan sedikt ulasan beberapa motif batik daerah Jawa barat.


batik Cirebon
Batik Cirebon
Batik Cirebon termasuk kedalam kelompok batik Pesisiran, namun juga sebagian batik Cirebon termasuk dalam kelompok batik keraton. Besarnya pengaruh dua keraton (Kasepuhan dan Kanoman), sehingga lahirlah Motif batik Cirebonan Klasik antara lain: motif Mega Mendung, Paksinaga Liman, Patran Keris, Patran Kangkung, Singa Payung, Singa Barong, Banjar Balong, Ayam Alas, Sawat Penganten, Katewono, Gunung Giwur, Simbar Menjangan, Simbar Kendo dan lain-lain.
Batik Cirebonan Pesisiran sangat dipengaruhi oleh karakter masyarakat pesisiran yang pada umumnya memiliki jiwa terbuka dan mudah menerima pengaruh budaya asing.

Batik Tasik
Batik Tasik
Tiga motif Batik Tasikmalaya, yaitu: Batik Sukapura secara sepintas menyerupai batik Madura; Batik Sawoan mirip Batik Solo; Batik Tasik dengan warna-warna cerah karena pengaruh dari batik pesisiran. Motif batik Tasikmalaya bermotif alam, flora, fauna, dan sangat kental dengan nuansa Parahyangan. Motifnya antara lain: merak ngibing, awi ngarambat, calaculu, lancah tasik, sidomukti payung, rereng orlet, akar, dll.

Batik Ciamis
Pengaruh dari wilayah pesisir dan nonpesisir yang berpadu dengan nilai-nilai budaya Sunda dan kehidupan sosial masyarakat Ciamis melahirkan ragam motif batik ciamisan yang sederhana tetapi elegant. Motif batik di daerah Ciamis antara lain rereng lasem, parang sontak, rereng seno, rereng sintung ageung, kopi pecah, lepaan, rereng parang rusak, rereng adu manis, kumeli, rereng parang alit, dll.

Batik Garut
Bentuk motif batik Garut merupakan cerminan dari kehidupan sosial budaya, falsafah hidup, dan adat-istiadat orang Sunda. Motif batik garutan umumnya menghadirkan ragam hias datar, bentuk-bentuk geometrik. Motif garutan antara lain Rereng Peuteuy, Rereng Kembang Corong, Rereng Merak Ngibing, Rereng Pacul, Limar. Warna cerah dan penuh pada sisi lainnya, menjadi ciri khas batik Garutan. Didominasi warna dasar krem atau gading (gadingan), biru, dan soga agak merah.

Batik Cianjur
Batik Cianjur
Motif dan warna-warna kainnya tidak jauh dari tumbuhan yang hidup di sekitar Cianjur. Umumnya mendekati warna tanah, daun atau bulir padi. Ada juga motif batik yang terinspirasi dari budaya dan keseharian masyarakat Cianjur. Hal ini tampak dengan adanya motif Kecapi, Maenpo, dan Hayam Pelung.

Batik Bogor
Batik Bogor
Motif-motif batik Bogor terinspirasi dari peninggalan kerajaan Pakuan, benda-benda sejarah, fenomena alam, dan kebudayaan. Salah satu motif yang terkenal adalah motif Kujang Kijang. Motif ini mengandung dua ikon kota Bogor, yaitu Kujang dan Kijang. Kujang merupakan senjata tradisional khas Sunda, sedangkan kijang merupakan hewan yang berada di Istana Bogor.

Batik Indramayu
Batik Indramayu
Ciri yang menonjol pada batik Indramayu adalah langgam flora dan fauna yang diungkap secara datar, banyak bentuk lengkung, dan garis yang meruncing (ririan), berlatar putih, warna gelap, dan banyak titik yang dibuat dengan teknik complongan jarum, serta bentuk isen-isen (sawut) yang pendek dan kaku. Latar belakang kehidupan nelayan dan petani menjadi ciri dan identitas batik Indramayu.

Batik Sumedang
Batik Sumedang
Batik Sumedang mulai dipopulerkan pada pertengahan tahun 90an. Motif batik Sumedang diantaranya: motif Lingga, Kembang Boled, Hanjuang, Klowongan Tahu, Mahkota (Siger) Binokasih, dan Pintu Srimangganti. Semua motif tersebut terinspirasi dari sejarah kerajaan yang pernah ada di Sumedang, Geusan Ulun. Disamping itu, terdapat motif-motif yang dipengaruhi budaya lokal daerah Cirebon, Yogyakarta, Solo maupun Pekalongan. Seperti Ragam Hias “Taburan Merica”, “Taburan Beras”, dan “Merak Ngibing”.

Demikian ulasan singkat motif batik daerah Jawa Barat. Perkembangan batik di Jawa Barat, tentunya tidak bisa lepas dari pengaruh motif-motif batik daerah lain di luar Jawa Barat.
Sebagian artikel dan gambar bersumber pada:
almuhibbin.com, disparbud.jabarprov.go.id, tabloid-mh.blogspot.com, sumedangkab.go.id, sumedangonline.com

maaf segala kekurangannya, salam