Kilas Balik Bencana di Jawa Barat Tahun 2010

• 6 Januari 2010 Kabupaten Bandung
Banjir bandang menerjang desa di Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, ini berasal dari luapan Sungai Cikeruh, Cimande, dan Cikijing setelah hujan mengguyur kawasan tersebut. Ketinggian banjir yang mencapai 20-100 sentimeter merendam ratusan rumah warga dan memutuskan Jalan Raya Rancaekek-Cicalengka.

• 10 Januari Kabupaten Tasikmalaya
Gempa bumi berkuatan 5,4 pada skala Richter mengguncang Tasikmalaya pada puluk 7.25 WIB. Gempa berpusat di 84 kilometer. Seorang warga tewas, dua luka-luka dan puluhan rumah rusak.

• Akhir Januari-Februari Kabupaten Bandung
Sembilan kecamatan terendam banjir, yakni Soreang, Majalaya, Banjaran, Dayeuhkolot, Pangalengan, Kertasari, Ibun, dan Pasirjambu. Genangan air berkisar 1,5-2,5 meter.

• 15 Februari Kabupaten Karawang
Bencana tahan longsor dan banjir bandang melanda tiga desa di Kecamatan Tegalwaru. Sedikitnya 141 keluarga mengungsi. Banjir bersumber dari Sungai Cilangor. Ini merupakan banjir terparah karena ketinggian air mencapai dua meter.

• 15 Februari Kabupaten Garut
Bencana tanah longsor di tebing Gunung Cikahuripan, anak Gunung Guntur, Kampung Cisaat, Desa Tanjungkarya, Kecamatan Samarang. Material longsor mengepung empat kampung dan penyapu 25 hektare lahan pertanian dan perkebunan, lima ratus warga mengungsi.

• 23 Februari Kabupaten Bandung
Tanah longsor di perkebunan teh Dewata, Desa Tanjolaya, Kecamatan Pasirjambu. Sebanyak 33 orang tewas tertimbun dan 11 orang hilang.

• Akhir Februari Kabupaten Cianjur
Selama sepekan, lima belas kecamatan di Kabupamten Cianjur dilanda banjir dan longsor. Ke lima belas kecamatan itu adalah: Kadupandak, Campaka, Naringgul, Pagelaran, Leles, Sukanegara, Cibinong, Cidaun, Cikadu, Sukaresi, Warungkondang, Haurwangi, dan Cipanas.

• Februari Kabupaten Sumedang
Pergerakan tanah di Dusun Ciumpleng, Desa Cinagsi, Kecamatan Cisitu. Hingga bulan Juni, terdata 252 rumah rusak berat dari 350 rumah yang ada di dusun tersebut. Pada blan Juli, warga mendapatkan lahan relokasi di lereng Bukir Palengseran. 1,5 kilometer dari Dusun Ciumpleng.

• 11 Maret Kabupaten Cianjur
Longsor Gunung Karang di Kampung Ciawitali, Desa Sukamekar, Kecamatan Sukanagara,. Sepuluh orang tewas.

• 17 Maret Kabupaten Bandung
Banjir besar melanda tiga kecamatan, yakni Baleendah, Banjaran, dan Dayeuhkolot. Sejumlah ruas jalan terputus dan lebih dari seribu warga emngungsi ke tempat aman.

• 19 & 20 Maret Kabupaten Bandung
Banjir meluas. Kecamatan yang dilanda banjir adalah kecamatan Bojongsoang, Dayeuhkolot, Rancaekek, Cangkuang, Banjaran, dan Pameungpeuk. Ketinggian,mencapai 50 sentimeter sampai dua meter.

• 20 Maret Kabupaten Cianjur
Bencana longsor di Bukit Cimanngu dan Legokjengkol melanda tiga lokasi.

• 26 Juni Kabupaten Tasikmalaya
Gempa berkuatan 6.3 pada skala Richter mengguncang Tasikmalaya yang berpusat 118 kilometer barat daya Tasikmalaya, dengan kedalaman 34 kilometer. Sedikitnya 52 rumah warga di lima kecamatan di Kabupaten Tasikmalaya dan satu kecamatan di Kabupaten Ciamis rusak.

• 16 Agustus Kabupaten Bandung Barat
Tanah longsor di Bukit Pasirkolecer dan Gunung Geulis, Kampung Pasirpacet, Desa Mukapayung, Kecamatan Cililin. Sebanyak 21 rummah tertimbun.

• 9 Novemver Kabupaten Sumedang
Lima sungai meluap sehingga menyebabkan banjir. Kelima sungai tersebut adalah: Sungai Cikeruh, Sungai Cikijing, Sungai Cipeles, Sungai Cirangkong, dan Sungai Cipelang.
(Kania D.N./Periset “PR”, Sumber: Dokumentasi Pikiran Rakyat)

Kalau diperhatikan kejadian bencana lebih banyak disebabkan campur tangan manusia. Saat ini, alam hanya diperlakukan untuk kepentingan material (ekonomi), tanpa memperhatikan akibatnya.

Tidak perlu seberapa banyak peraturan yang dibuat untuk menjaga alam ini. Yang dibutuhkan hanya nurani dan kearifan dalam mengartikan alam (kuno menang!! Bahkan mungkin bertentangan dengan perkembangan jaman).
Mudah-mudahan tidak terjadi lagi bencana di bumi pertiwi ini.

Sang Bapak Ilmu Bedah, Al Zahrawi (936-1013)

Ketika peradaban Islam berjaya di Andalusia (sekarang Spanyol), Cordoba (suatu wilayah di Spanyol) menjadi tempat favorit bagi orang-orang Eropa yang akan menjalani operasi bedah. Salah satu tokoh yang berkontribusi signifikan bagi perkembangan ilmu bedah adalah Abu Al Qasim Khalaf Ibn Al Abbas Al Zahrawi atau di Barat dikenal sebagai Abulcasis.

Al Zahrawi lahir di kota Al Zahra, enam mil sebelah barat laut Cordoba. Al Zahrawi menjalani sebagian besar masa hidupnya di Cordoba, tempat ia belajar, mengajar, dan berpraktik kedokteran.

Selain termasyhur sebagai dokter yang hebat, Al Zahrawi juga dikenal sebagai Muslim yang taat. Hidupnya bagai seorang sufi. Ia kebanyakan melakukan pengobatan secara cuma-cuma karena menganggap melakukan pengobatan kepada para, pasiennya merupakan bagian dari amal atau sedekah. Ia mengingatkan para mahasiswanya, yang dipanggilnya dengan sebutan "anak-anakku" akan pentingnya hubungan baik antara dokter dan pasiennya.

Ia juga menekankan pentingnya merawat pasien sebaik mungkin tanpa membedakan status sosial. Dia mendorong observasi yang teliti pada kasus-kasus individual agar tercapai diagnosis yang akurat dan perawatan terbaik. Al Zahrawi pun selalu mengingatkan agar para dokter berpegang pada norma dan etika kedokteran dan tidak menggunakan profesi dokter hanya untuk meraup keuntungan materi.

Karya terbaik Al Zahrawi adalah Kitab Al Tasrif yang rampung pada tahun 1000. Buku yang terdiri atas tiga puluh volume ini membahas berbagai masalah medis yang luas seperti ilmu bedah, ortopedi, optamologi, farmakologi, kedokteran gigi, ilmu gizi, obstetri, dan lain-lain. Al Zahrawi memperkenalkan lebih dari dua ratus alat bedah. Sebagian besar di antaranya merupakan karya orisinal yang belum pernah digunakan sebelumnya dan beberapa di antaranya masih digunakan dalam pembedahan modern.

Beberapa peralatan bedah hasil karya Al Zahrawi di antaranya peralatan bedah gigi, benang bedah, jarum bedah, pisau bedah, currete, retraktor, specula, surgical rod, alat untuk menjahit bagian dalam rubuh, alat untuk mengeluarkan batu dalam kandung kemih, alat untuk memeriksa telinga, alat untuk membantu persalinan, dan lain-lain. Penemuan penting lain dari Al Zahrawi adalah perban dan plester yang penting dalam tindakan pertolongan pertama. Al Zahrawi pulalah yang menemukan gips untuk perawatan tulang.

Kitab Al Tasrif juga membahas penyiapan obat-obatan yang diperlukan untuk penyembuhan pasca-operasi dengan teknik sublimasi dan distilasi. Kitab ini juga merupakan buku yang pertama tercatat yang menjelaskan sifat-sifat turunan hemophilia.

Al Zahrawi juga berjasa dalam bidang kosmetika. Produk-produk seperti deodoran, hand lotion, dan pewarna rambut merupakan hasil pengembangan dari karya Al Zahrawi.

Kitab Al Tasrif kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Latin dan Ibrani. Selama 500 tahun karya Al Zahrawi menjadi sumber pengetahuan medis bagi Eropa, menjadi rujukan para dokter dan ahli bedah dan menjadi teks medis utama di berbagai universitas di Eropa.

Sebagai penghormatan terhadap Al Zahrawi, sebuah jalan di Corodoba di beri nama "Calle Albuca-sis". Di jalan ini terdapat rumah nomor 6 yang merupakan tempat tinggal Al Zahrawi. Kini rumah ini menjadi cagar budaya yang dilindungi Badan Kepariwisataan Spanyol. (Akhmad Taufik, alumnus Universitas Padjadjaran, "Pikiran Rakyat”)

Tidur Dalam Gelap Cegah Depresi

tidur
Hallo apa kabar semua, sebentar lagi kita meninggalkan tahun 2010, menuju ke tahun 2011. Ada hal yang menarik tentang tidur, kalau memang selama kurun waktu di tahun 2010 atau tahun-tahun sebelumnya tidur kita kurang baik. Dan itu mungkin mempengaruhi perilaku kita di kehidupan sehari-hari. Mudah-mudahan setelah membaca postingan ini, ada sedikit perubahan dengan cara tidur kita.

Jangan pernah anggap remeh kehadiran lampu dalam kamar. Selain berfungsi sebagai alat penerangan, tata cahaya juga ikut memengaruhi psikologis kita. Sebuah riset menunjukkan, tidur dalam kondisi yang terang bisa memengaruhi mood seseorang. Tracy Bedrosian, penulis pendamping penelitian Ohio State University, Amerika mengatakan lampu di kamar tidur dapat memicu perilaku depresif. Hal ini dikuatkan hasil diskusi tahunan Society for Neuroscience yang menyebutkan lampu bisa menyebabkan gangguan mental yang serius.

Penelitian dilakukan terhadap tikus yang diberi cahaya lampu selama delapan jam pada saat mereka tidur. Pemberian lampu itu dilakukan dalam periode delapan minggu berturut-turut. Hasilnya, tikus percobaan yang terpapar lampu diam selama mereka tidur, menunjukkan gejala depresi. Perilaku itu dibandingkan dengan tikus yang tidak diberi cahaya lampu. Peneliti syaraf Dr. Randy Nelson menambahkan, lampu yang diberikan pada tikus itu sama dengan lampu yang digunakan orang pada umumnya, yakni lampu dengan tingkat pencahayaan rendah.

Peneliti menyimpulkan, kondisi tidur yang baik seharusnya gelap gulita. “Bahkan, lampu yang redup sekalipun bisa menyebabkan perubahan kimiawi di otak, terlebih setelah kondisi tidur selama delapan jam. Dalam jangka panjang hal ini bisa menyebabkan rasa depresi,” (Live Science/jam, “PR”)

Percaya atau tidak, kita perlu mencobanya.

Apa Kabar Gunung Papandayan?

papandayan
Kami bersama teman-teman "Sandekala" telah 3 kali menginjakkan kaki di Gunung Papandayan (Kabupaten Garut). Dua kali beberapa tahun sebelum gunung itu meletus di tahun 2002, dan terakhir tahun 2006.

Sudah lama memang. Tapi sampai sekarang masih teringat perbedaan kondisi alamnya setelah bencana letusan. Misalnya di Pondok Salada (Saladah). Sebelum terjadi letusan, tempat ini sangat tepat untuk bermalam. Disamping cukup ketersediaan air, juga hamparan Eidelweis jadi bagian keindahan Gunung Papandayan.

Di bawah ini ada sedikit catatan karakteristik Gunung Papandayan , yang diambil dari beberapa sumber:

Gunung Papandayan dengan ketinggian 2.640 di atas permukaan laut mempunyai kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp Atas, hutan Montane, dan Hutan Ericaceous atau hutan gunung.(Wikipedia)

Gunung Papandayan gunung api tipe A, yaitu gunung api yang pernah meletus setelah tahun 1600. erupsi yang pernah terjadi di gunung Papandayan tercatat pada tahun 1772 hingga menelan 2.951 korban jiwa dan menghancurkan sekitar 40 perkampungan di sekitarnya.

Morfologi tubuh termasuk Kawah Brungbung, Kawah Manuk, Kawah Baru, dan Lembah Ruslan, dibentuk oleh aliran lava dan endapan aliran piroklstik.

Muka gunung mengarah ke timur laut mulai dari Kawah Mas hingga Kampung Cibalong dan Cibodas sebagai hasil pembentukan endapan guguran puing (debris avalance deposit). Aliran lava mengarah ke Cibeureumgede dan Ciparungpuk yang menjadi aliran menuju Sungai Cimanuk.

Karakter letusan Papandayan berupa tipe freatik. Yaitu, ketika ledakan didorong oleh uap dari tanah dingin atau air permukaan yang bersentuhan dengan batuan panas atau magma. Kegiatan freatik umumnya lemah, tetapi cukup eksplosif pada beberapa kasus. (Ririn N.F,/”PR”)

Tahun ini (2010) tepatnya di bulan November, Gunung Papandayan dikabarkan aktivitas kegempaannya di atas normal. Mudah-mudahan tidak terjadi bencana yang lebih parah, sehingga menjadi tempat yang masih diminati para pencinta alam.

(--Tulisan ini untuk mengenang sahabat kami Dadan “Kardun” Rosdiana (Alm), "RIMBAWAN UNWIM". Dari dialah kami mengenal dan menjadi lebih dekat dengan alam. Selamat Jalan Sahabat--)

Fungsi Ekologi Kelelawar

kelelawar
Kelelawar dapat dijumpai mulai ukuran kecil hingga yang terbesar. Kelelawar terkecil di dunia dapat dijumpai di Thailand. Kelelawar dengan nama Crasoenyteris tholongial ini memiliki ukuran sebesar ibu jari. Kalong atau yang dinamakan flying fox merupakan kelelawar terbesar di dunia. Kelelawar dengan panjang rentang sayap lebih dari 1,5 meter ini dapat dijumpai di seluruh Indonesia.

Berdasarkan perannya, kelelawar terbagi menjadi tiga jenis, yaitu kelelawar sebagai agen menyerbuk, menyebar biji, dan pengendali hama. Namun berdasarkan tipe makanannya, kelelawar dapat dibagi menjadi kelelawar buah (fruit bats) dan kelelawar pemakan serangga (insect bats).

Kelelawar pemakan buah termasuk diantaranya adalah kelelawar yang membantu penyebaran biji dan penyerbukan berbunga. Kelelawar biasanya hanya menguyang-nguyang daging buahnya untuk diambil cairannya, sedangkan bagian serabut daging buah disepah dan bijinya dibuang. Akibatnya, biji menjadi bersih dari daging buah. Biji tersebut disebarkan kelelawar diluar habitat tumbuhnya sehingga kelelawar dikenal pula sebagai agen penyebar biji yang merangsang regenerasi hutan. Kelelawar makan buah tidak pada pohon buah itu, tetapi dibawa ke pohon lain (Suyanto, 2001), dengan demikian besar kesempatan biji unutk berkecambah dan tumbuh hingga besar.

Kelelawar penyerbuk yang juga termausk kelelawar buah biasanya mencari makan di malam hari, memiliki mata besar, daya pencium yang tajam, dan biasa terbang disekitar bunga yang diserbukinya. Jenis fauna ini juga memiliki metabolisme yang tinggi, ukuran tubuh yang lebih besar dibanding dengan agen jenis ponator lainnya (Faegri and van der Pijl, 1979). Kelelawar penyerbuk biasanya memasukkan lidahnya ke dalam bunga untuk mengecap nectar, polen akan memenuhi tubuh dan wajahnya, lalu polen ini akan dimakannya secara sengaja atau tidak sengaja ketika membersihkan diri selesai makan.

Kelelawar penyerbuk sebagai agen pollinator ternyata membutuhkan protein (Faegri and van der Pijl, 1979; Courts, 1998) terutama nitrogen yang terkandung dalam polen atau biasa disebut dengan nama serbuk sari merupakan serbuk yang diproduksi tumbuhan berbunga dan mengandung sel reproduksi jantan yang dibawa oleh agen polinator seperti kelelawar, mamalia kecil, air, maupun angin yang menyerbukannya ke bunga lain.

Fungsi kelelawar yang lainnya lagi, sebagai agen pengendali serangga hama. Berdasarkan penelitian di Thailand, kelelawar pemakan serangga jenis Tadarida plicata sangat berpotensi sebagai agen pengendali hama biologis. Hasil analisis guano atau feses predator utama serangga nocturnal ini mengindikasikan tingginya keberadaan serangga hama yang biasa dijumpai di daerah persawahan (Leelapaibul, et al, 2005). Studi tentang Tadarida brasiliensis yang biasa bermigrasi di kawasan Amaerika Utara, juga kembali menekankan pentingnya keberadaan mamalia terbang ini secara ekonomis. Secara ekonomis, keberadaan kelelawar memakan serangga ternyata sangat bernilai untuk meningkatkan produksi kapas dan jagung di delapan area studi Negara bagian Texas (Cleveland, et al, 2006).

Tiga peran penting kelelawar si mamalia terbang secara ekologis adalah membantu penyebaran biji, penyerbukan, dan mengendalikan serangga hama. Ketiganya sangat vital dalam dinamika ekosistem di sekitar kita. (Felicia Lasmana, naturalis tinggal di Bandung, /”PR”)

Melongok Kehidupan Gua-gua di Jabar

Jawa Barat merupakan salah satu propinsi yang mempunyai bentang alam karst yang sangat menawan. Namun sayangnya, beberapa kawasan telah hancur akibat aktivitas manusia seperti penambangan kapur, penambangan fosfat dan bahkan pariwisata.

Kawasan karst Padalarang dengan Gua Pawon yang dikenal karena peninggalan fosil manusia Bandung telah terusik oleh aktivitas penambangan yang sangat masif. Sementara, karst Cibinong telah dikeruk dua raksasa pabrik semen di Indonesia. Kemudian di satu bukit kecil yang masih tersisa di Ciampea juga sudah terjamah kerakusan manusia. Selain itu, kawasan di pesisir utara seperti Karst Karawang juga sudah carut marut akibat dieksploitasi kapurnya.

Inilah gambaran kawasan karst yang ada di Jawa Barat, gambaran kerusakan akibat aktivitas manusia yang telah secara berlebihan memanfaatkan karst. Namun, diantara kehancuran itu masih ada harapan di kawasan yang belum banyak terganggu seperti di Sukabumi Selatan, Tasikmalaya-Ciamis dan beberapa kawasan lain yang terlepas dari jangkauan manusia.

Menawan
Sebagian kawasan karst yang tersisa, masih tersimpan keindahan gua yang mengagumkan. Di seputaran Bogor, ada komplek gua wisata Gua Gudawang yang menyimpan keindahan sungai bawah tanah yang sangat berbahaya di musim hujan. Kemudian gua-gua vertikal yang tersimpan di Ciampea juga menawarkan potensi olah raga menantang yang menawan. Sementara di daerah Cibinong, diantara bopeng bentang alam karst masih tersimpan segelintir keindahan gua seperti Gua Garunggang, Gua Cikaray dan gua-gua vertikal lain yang tidak kalah menantang.

Sementara di bagian selatan Sukabumi, keindahan Gua Buniayu sudah tidak diragukan lagi. Potensi wisata yang sudah dikelola disana sudah menjadi bagian tidak terpisahkan pengembangan wisata gua. Selain untuk wisata umum, Gua Buniayu juga menawarkan potensi wisata bagi orang-orang yang mempunyai nyali untuk menyusuri gua bersungai melalui mulut gua vertikal. Itulah potensi gua yang perlu dikembangkan agar mendapatkan manfaat ekonomi yang berkelanjutan.

Gua-gua di Tasikmalaya dan Ciamis juga perlu dipoles selain potensi Green Canyon yang telah dikembangkan saat ini. Sementara di Pelabuhan Ratu, potensi wisata keanekaragaman hayati di Gua Lalay perlu sentuhan dan pengelolaan yang lebih profesional lagi.

Potensi gua-gua di Jawa Barat sungguh mengagumkan, begitu juga potensi keanekaragaman hayati yang ditemukan di dalamnya. Namun sayangnya, belum banyak yang menyadari betapa potensi keanekaragaman hayati di dalamnya sangat besar.

Merah jambu
Gua-gua di Jawa Barat sangat berbeda jika dibandingkan dengan gua-gua yang ada di Jawa bagian lain. Kehidupan fauna guanya pun berbeda dengan adanya beberapa kelompok fauna yang tidak ditemukan di gua-gua di Jawa di bagian tengah dan timur.

Ketika di pertengahan tahun 2004, saya menyusuri gua kecil di Cibinong dimana saya harus merayap dalam lorong kecil yang berlumpur. Ketika merayap, mata saya tertegun pada genangan air di antara lantai gua yang berlumpur. Dalam genangan tersebut, saya melihat ada dua ekor hewan yang bergerak kesana kemari. Hewan yang sangat menarik buat saya, karena saya belum pernah menemukan itu sebelumnya di gua-gua Jawa. Kemudian saya teringat ketika saya menemukan hewan yang sama di beberapa gua di Kalimantan Tengah.

Hewan yang berwaran merah jambu ini, merupakan salah satu hewan gua yang sebelumnya pernah ditemukan di Kalimantan, Sumatra dan beberapa gua di Thailand dan Kamboja. Di Jawa, jenis ini belum pernah ditemukan, pada tahun 2006 jenis ini dikenal dengan nama Stenasellus javanicus. Jenis ini kemudian menjadi jenis yang pertama dari kelompok suku Stenasellidae (Isopoda) yang sangat khas hidup di kolam-kolam kecil di dalam gua.

Tiga tahun kemudian, ketika saya berkesempatan keliling Jawa untuk mengungkap kehidupan gua di dalamnya, saya kembali terpesona dengan temuan yang sama di Gua Buniayu. Gua yang terletak di ketinggian sekitar 800 meter di atas permukaan laut ini semakin menambah kehausan saya akan berbagai keunikan hewan-hewan gua.

Saya meyakini, jenis dari Gua Buniayu ini berbeda dengan yang saya temukan di Gua Cikaray, Cibinong. Mengingat, ketinggian gua di Cibinong hanya berkisar antara 100-150 meter diatas permukaan laut. Saya berasumsi, jenis yang konon mempunyai nenek moyang dari lautan ini telah ada lebih dulu di Sukabumi dibandingkan di Cibinong. Selain itu, umur batuan di Sukabumi yang lebih tua dibandingkan di Cibinong dapat diperkirakan ketika Sukabumi sudah menjadi daratan, Cibinong masih menjadi dasar lautan.

Selama saya berkeliling Jawa, kelompok udang merah jambu ini tidak pernah saya temukan di gua-gua di bagian timur pulau Jawa. Jenis ini hanya ditemukan di Jawa Barat khususnya Sukabumi dan Cibinong. Dari sini saya beranggapan, komposisi hewan-hewan gua di Jawa bagian barat berbeda dengan Jawa bagian timur. Saya meyakini, sejarah geologi tanah Jawa berperan penting dengan fenomena ini. Beberapa penulis meyakini, secara geologi Jawa bagian barat berumur lebih tua diperkirakn Cretaceous dibandingkan bagian timur yang lebih muda.

Kaki delapan
Selain hewan merah jambu, gua-gua di Jawa Barat juga dihuni oleh berbagai hewan berkaki delapan seperti laba-laba (Araneae), kalacuka (Uropygi) dan kalacemeti (Amblypygi). Salah satu kalacemeti yang pertama dikenal adalah Sarax javensis, yang pertama kali ditemukan tahun 1915 di daerah Bogor. Jenis ini kemudian ditemukan di gua-gua di daerah Sukabumi seperti Gua Siluman. Setelah itu, sekitar tahun 1928 jenis kalacemeti kedua ditemukan dari gua-gua di Cibinong yaitu Lulut dan Panumbangan Djampang. Jenis kalacemeti ini diberi nama Stygophrynus dammermani yang dideskripsi oleh C. F. Roewer dan diterbitkan di salah satu jurnal Treubia.

Kalacemeti Dammerman ditemukan di gua-gua di Banten, Jawa, Barat sampai Pulau Nusakambangan dan kawasan Menoreh di perbatasan Yogyakarta dan Jawa Tengah. Jenis ini khas dengan sepasang kaki paling depan yang telah termodifikasi menjadi sungut yang beruas-ruas. Sungut ini berguna untuk mengenali lingkungannya seperti untuk mendeteksi keberadaan mangsa atau bahkan untuk mengenal pasangangannya saat kawin.Kalacemeti sangat gemar memakan jangkrik yang banyak ditemukan di dalam gua.

Selain kalacemeti, di gua-gua Jawa Barat juga banyak ditemukan kalacuka yang menyemburkan cairan yang berbau menyengat ketika mereka merasa tergganggu. Kalacuka merupakan kelompok kerabat dari kalacemeti mereka sama sama mempunyai sepasang kaki depan yang berubah jadi sungut. Kalacuka lebih banyak ditemukan di lantai gua, tinggal di bawah batuan berbeda dengan kalacemeti yang lebih senang hidup di dinding gua.

Selain itu, laba-laba pemburu dari marga Heteropoda juga banyak ditemukan di beberapa gua di Jawa Barat seperti yang ditemukan di Gua Buniayu. Laba-laba ini salah satu pemangsa yang sangat agresif. Meskipun tidak beracun, laba-laba ini sukup sakit kalau menggigit dan alat mulutnya sangat tajam untuk menyobek kulit kita. Betina laba-laba Heteropoda, meletakkan telurnya di bawah perutnya dalam kantong telur berwarna putih yang berukuran lebih besar dari perut atau bahkan badannya.

Beberapa jenis laba-laba yang membuat sarang, juga ditemukan di ceruk-ceruk di dinding Gua Buniayu. Mereka menunggu mangsanya terperangkap dalam jaringnya nya kokoh. Sementara, laba-laba pemburu, Heteropoda, sedang membawa telur di dalam kantong telur yang berwarna putih tersimpan di bawah perutnya. Laba-laba pemburu ini sedang mencari mangsa seperti jangkrik yang terkadang berkeliaran di dinding gua.

Hewan-hewan lain seperti jangkrik, ngengat kecil, dan hewan berkaki enam lainnya juga menambah kekayaan keanekargaman hayati di gua-gua di Jawa Barat. Sementara, hewan berukuran mini yang sulit diamati dengan mata telanjang menghuni lantai gua yang dipenuhi oleh kotoron kelelawar (guano).
Inilah sebagian kehiduapan hewan gua yang ditemukan di Jawa Barat, masih banyak hewan-hewan seperti kelelawar dan ikan gua yang masih bisa diceritakan yang tentu saja semakin menambah daya tarik kekayaan karst Jawa Barat.

Namun, sekelumit gambaran kekayaan hewan gua ini telah membuka wacana begitu kaya dan menariknya gua-gua di Jawa Barat. Selain itu, kondisi ancaman terhadap kelestarian gua-gua dan karst tentu saja memerlukan perhatian karena berimbas pada kelangsungan dan kelestarian hewan-hewan gua yang hidup di dalamnya.

Untuk itu, sudah semestinya berbagai pihak dari pemegang kebijakan, akademisi, peneliti dan masyarakat luas untuk memberikan perhatian kepada kelestarian karst dan gua di Jawa Barat yang tentu saja akan memberikan keuntungan baik langsung maupun tidak bagi kesejahteraan masyarakat. Mari kita lindungi karst dan gua dari kerusakan. (Cahyo Rahmadi, staf peneliti di Pusat Biologi LIPI Cibinong, /Pikiran Rakyat)

Soemedang Tempo Doeloe 2 (gambar/image)


Kain Soetera
Pertenoenan Kain Soetera


Boesoer
Toekang Boesoer/panah


Genteng
Toekang Genteng


Tepoeng
Pabrik Tepoeng


Tembaga
Toekang Tembaga


Tandoek
Toekang Toelang dan Tandoek


Roedjak
Toekang Roedjak


Ontjom
Toekang Ontjom


Senapan
Toekang Senapan


Goela
Toekang Goela Aren


Kerandjang
Menganjam Kerandjang


Minjak
Pabrik Minjak

Calung (Calung Jinjing)

calung
Satu lagi kesenian Sunda yang penyajiannya berbentuk seni pertunjukkan (hiburan) yaitu calung. Ada dua bentuk calung Sunda yaitu:

1. Calung rantay bilah tabungnya dideretkan dengan tali kulit waru (lulub) dari yang terbesar sampai yang terkecil, jumlahnya 7 wilahan (7 ruas bambu) atau lebih. Komposisi alatnya ada yang satu deretan dan ada juga yang dua deretan (calung indung dan calung anak/calung rincik). Cara memainkan calung rantay dipukul dengan dua tangan sambil duduk bersilah, biasanya calung tersebut diikat di pohon atau bilik rumah (calung rantay Banjaran-Bandung), ada juga yang dibuat ancak "dudukan" khusus dari bambu/kayu, misalnya calung tarawangsa di Cibalong dan Cipatujah, Tasikmalaya, calung rantay di Banjaran dan Kanekes/Baduy.

2. Adapun calung jinjing berbentuk deretan bambu bernada yang disatukan dengan sebilah kecil bambu (paniir). Calung jinjing berasal dari bentuk dasar calung rantay ini telah dibuat dalam empat bagian bentuk wadrita yang terpisah . Waditra calung jinjing terbuat dari bahan bambu hitam (awi hideung) dan seperangkat calung jinjing yang digunakan dalam pertunjukan biasa bertangga nada salendro, pelog serta madenda ( nyorog ) wadrita calung jinjing merupakan perkembangan dari bentuk calung rantay/ calung gambang, calung dalam bentuk ini sudah merupakan seni pertunjukan yang bersifat hiburan.

Waditra calung jingjing terdiri dari:

1 Kingking (terdiri dari 12 tabung bambu)
Calung kingking jumlahnya 15 nada / 3 oktaf dalam nada yang paling kecil (tertinggi).

2 Panempat (5 /3 dan 2 tabung bambu)
Calung panempat jumlahnya lima potong untuk lima nada (1 oktaf) nadanya merupakan sambungan nada terendah calung kingking dan dari lima nada tersebut ada yang yang dibagi dua ada yang digorok (disatukan).

3 Jongjrong (5 /3 dan 2 tabung bambu)
Calung jongjrong seperti halnya panempat yang berbeda hanya nadanya yang lebih rendah dari panempat, nada panempat bentuknya selalu tinggi dibagi dua yaitu 3 potong untuk nada berturut-turut dari yang tinggi, dua potong untuk dua nada lanjutan.

4 Gonggong (2 tabung bambu)
Calung Gonggong merupakan calung yang paling besar jumlahnya hanya dua bumbung yang disatukan keduanya dalam nada rendah diantara keseluruhan calung .

Jenis calung yang sekarang berkembang dan dikenal adalah calung jinjing. Calung jingjing dimainkan oleh 4 orang dan ditambah satu orang pemain yang memegang alat kosrek (bambu yang digosok/digesek kawat besi). Cara memainkannya dipukul dengan tangan kanan memakai pemukul, dan tangan kiri menjinjing/memegang alat musik tersebut. Sedangkan teknik menabuhnya antara lain dimelodi, dikeleter, dikemprang, dikempyung, diraeh, dirincik, dirangkep (diracek), salancar, kotrek dan solorok.

Kesenian Reog

reog
Kesenian Reog yang satu ini merupakan kesenian masyarakat sunda. Reog diambil dari istilah rereongan (gotong royong), hal ini menunjukan bahwa kesenian tersebut mengajak untuk menggalang persatuan dan kegotongroyongan. Kesenian reog disamping sebagai sarana hiburan, juga diharapkan menjadi tuntunan dalam kehidupan keseharian. Pertunjukkannya dikemas dengan perpaduan antara tembang (lagu-lagu) dan dagelan (komedi). Biasanya kesenian reog digelar pada malam hari.

Alat pengirng kesenian reog antara lain:
1. Dogdog pertama disebut tilingit fungsinya mengawali lagu, membuka dan mengatur tinggi rendahnya ketukan.
2. Dogdog kedua disebut belentong atau tong, fungsinya menjawab doddog pertama atau memadukan irama.
3. Dogdog ketiga disebur kemprung atau brung, fungsinya menyambung lagu.
4. Dogdog keempat disebut badublag atau badubangpak, fungsinya adalah meraih tabuh sebagai kendang.
5. Tarompet selaku jurukawih (pennyanyi).

Pemegang tilingit disebut dalang selaku pemimpin pertunjukkan, tugasnya memberikan penyuluhan kepada penonton. Pola tabuh-nya ada yang disebut tabuh turun ka cai (irama lambat) dan tabuh kempringan (irama cepat).

Sesuai perkembangannya, alat pengiring kesenian reog dilengkapi dengan gamelan dan juru sinden.

Mempertanyakan "Petatah-petitih Cerbon"

Sun titip tajug lan fakir miskin.
 Hampir semua wong Cerbon meyakini jika petitih di atas merupakan ucapan dan pesan Sunan Gunung Jati. Apalagi, kalimat itu sering kali dikutip kalangan Raja Cirebon, para kiai, guru, birokrat, bahkan kalangan agamawan non-Islam, termasuk di dalamnya kalangan Tionghoa. Namun, apakah benar petitih itu diucapkan oleh Sunan Gunung Jati?

Kalimat seorang sunan merupakan sesuatu yang harus dilakoni para kawula dan rakyatnya. Ia merupakan sabdoning pandito ratu (sabda raja yang harus dipatuhi) sekaligus khalifatullah filardli (wakil Allah di muka bumi). Oleh karena itu, apa pun yang telah diucapkan seorang raja, pantang dijilat kembali dan harus dilakukan oleh rakyat dan kawulanya secara mutlak.

Sejarawan Universitas Padjadjaran Ahmad Mansur Suryanegara pun seakan meyakini bahwa kalimat itu berasal dari Sunan Gunung Jati. Hal itu diungkapkannya dalam seminar sejarah di Cirebon, akhir Oktober lalu. "Banyak naskah peninggalan para wali dituliskan dengan bahasa tersirat dan simbolistik," katanya. "Tentu tidak bisa diinterpretasikan sesederhana bahasa tersuratnya. Harus dengan pemahaman yang bertolak dari pesan tersiratnya bila ingin diterapkan untuk menjawab problema pembangunan masa kini".

Budayawan Keraton Kacirebonan drh. R. Bambang Iriyanto pun tampaknya mengalami kesulitan dalam mencari sumber petitih itu. Bersama penulis dan beberapa peneliti dari Bagian Penelitian dan Pengembangan Departemen (sekarang Kementerian-pen.) Agama, Bambang pernah menelusuri artefak dan manuskrip peninggalan keraton masa lalu. Namun, sumber petitih itu tak jua ditemukan. "Padahal, hampir semua artefak dan manuskrip kami udal-udal," katanya.

Ragu-ragu
Penata lakon sandiwara rakyat Cirebon, H. Sulama --yang biasa membolak-balik manuskrip untuk kepentingan gelar lakonnya-- pun merasa ragu-ragu akan asal-usul petitih itu. Bahkan, ia dengan berani menyatakan bahwa kalimat semacam itu diduga dimunculkan setelah masa kemerdekaan. Ia beralasan, pesan-pesan yang diumumkan pada abad ke-14, lazimnya, berbahasa Sansekerta. "Coba periksa bahasanya, seperti bahasa masyarakat sekarang," katanya.

Pendapat serupa dinyatakan Kartani, budayawan yang dikenal sebagai pendokumentasi manuskrip dari daun lontar. Ia menyatakan, tak ditemui petitih semacam itu di daun lontar. "Terutama kalimat sun titip tajug lan fakir miskin," ungkapnya. Kendati demikian, ia mengakui bahwa petitih itu memiliki nilai berharga untuk pendidikan.

Sangat sulit memang untuk mencari asal-usul petitih itu. Hal itu karena tak adanya catatan yang dilakukan oleh orang yang se zaman dan sulitnya mendapatkan referensi yang berkaitan dengan hal itu. Selama ini, referensi yang dianggap paling tua ditulis pada tahun 1689 oleh Pangeran Wangsakerta meski banyak sejarawan yang meragukan tentang manuskrip tersebut.

Hasan Effendi dalam Petatah-petitih Sunan Gunung Jati (1994) memberikan gambaran bahwa petatah-petitih itu secara historis diciptakan Sunan Gunung Jati (sebagai seorang ayah) bagi anaknya dan sebagai pucuk leluhur bagi trah atau keturunan keraton Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan maupun Keprabonan. Sebagai seorang ayah, ia berharap agar anak dan keturunanannya kelak menjadi manusia yang mampu menjunjung tinggi hukum-hukum Allah. Selain itu, ia berharap agar mereka dapat melanjutkan perjuangan menauhidkan atau menyiarkan ajaran agama Islam.

Menurut Hasan, ada lima macam petatah-petitih yang mengandung nilai kesopanan, baik secara tersurat maupun tersirat. Petitih itu adalah den hormat ing wong tuwa (harus hormat kepada kedua orang tua), den hormat ing leluhur (menghormati leluhur), hormaten, emanen, mulyaken ing pusaka (hormati, sayangi, dan muliakan warisan leluhur), den welas asih ing sepapada (berbelas kasih terhadap sesama), dan mulyaaken ing tetamu (memuliakan tamu).

Ada ucapan yang selalu dihadirkan pada saat pelal mulud oleh Sultan Sepuh Maulana Pakuningrat (almarhum) tentang "jimat". Simbol "jimat" di sini dimaknai sebagai siji kang dirawat, yakni dua kalimat syahadat. Demikian pula simbol-simbol yang ada di lingkungan Keraton Cirebon, seperti Panca Niti, bermakna lima titian, yang tak lain adalah Rukun Islam yang lima.

Selain itu, masyarakat Cirebon juga memiliki petitih, seperti yen sembahyang kungsi pucuke panah (jika salat harus khusyuk), yen puasa den kungsi totaling gundewa (jika puasa harus mampu menahan segala kesabaran), ibadah kang tetep (kuat dalam beribadah), lurus den syukur ing Allah (pasrah dan selalu bersyukur kepada Allah), aja nyindra janji (jangan cidera janji), pemboraban kang ora patut anulungi (yang salah tak perlu ditolong), dan aja ngaji kejayaan ala rautah (jangan belajar untuk kepentingan yang tidak benar).

Di samping secara lisan diucapkan kalangan tetua, petitih juga dibangun pada simbol-simbol bangunan kuno (artefak), seperti bagian-bagian bangunan keraton, persenjataan, dan simbol-simbol lain. Kini, muncul pula petitih dalam masyarakat yang juga sering diucapkan, yakni yen pareng kudu kiyeng, yen bodoh kudu weruh lan yen pinter aja keblinger.

Simbol-simbol semacam itu hingga kini masih ada dan melekat sebagai filosofi masyarakat Cirebon. Namun, Hasan Efendi sendiri justru tidak memberikan jawaban secara pasti atas pertanyaan kapan petitih itu diucapkan? Siapa yang mengucapkan? Dan sampai kapan ungkapan-ungkapan itu berlaku? "Semua itu belum terjawab," katanya. "Namun, keberadaannya akan terus menggema, sepanjang masyarakat masih mengindahkan nilai budaya warisan leluhurnya.(Nurdin M. Noer, /PR)

Sekilas Tentang Gunung Tampomas

tampomas
Tampomas adalah sebuah gunung berapi yang terletak di Jawa Barat, tepatnya sebelah utara kota Sumedang (6.77° LS 107.95° BT). Stratovolcano dengan ketinggian 1684 meter ini juga memiliki sumber air panas.

Gunung Tampomas ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam (WTA) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 423/Kpts/Um/7/1979, tanggal 5-7-1979 dengan luas 1.250 Ha. Menurut administrasi pemerintahan termasuk Kecamatan Buahdua, Conggeang, Sindangkerta dan Kecamatan Cibeureum Kabupaten Sumedang.

Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson Gunung Tampomas iklimnya tergolong dalam tipe iklim B, dengan curah hujan rata-rata 3.518 mm per tahun.

Flora Vegetasi kawasan ini termasuk tipe hujan hujan pegunungan, floranya terdiri dari beraneka ragam jenis pohon-pohonan berkayu serta jenis-jenis dari golongan liana dan epiphyt. Flora yang mendominasi kawasan adalah: Jamuju (Podocarpus imbricatus) Rasamala (Altingia excelsea) Saninten (Castanea argentea) Fauna Satwa liar yang hidup dalam kawasan ini adalah : Kancil (Tragullus javanicus) Lutung (Trachypithecus auratus) Babi Hutan ( Sus vitatus), Macan Kumbang, Owa Jawa (Hylobates Moloch), Elang Jawa (Spizaetus bartelsi),dan beberapa jenis burung lainnya. (--dari berbagai sumber--)

Waspadai Kaki Gajah!

kaki gajah
Penyakit kaki gajah (filariasis) merupakan penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria, yang menyerang kelenjar dan pembuluh getah bening (pembuluh limfe). Di Indonesia filariasis dikarenakan oleh tiga jenis cacing yaitu Wuchereria banerofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. Cacing jenis Brugia malayi dan Brugia timori ditemukan pertama kali di Indonesia.

 Penularan
Pertumbuhan dan perkembangan cacing filaria, terjadi pada dua fase di tubuh nyamuk dan pada manusia. Nyamuk berperan sebagai vektor (penular) penyakit. Tubuh nyamuk dibutuhkan untuk pertumbuhan dan transmisi cacing. Sewaktu nyamuk menghisap darah manusia, cacing filaria stadium mikrofiliria yang ada pada darah manusia ikut tertelan, dan masuk ke dalam seluruh pencernaan nyamuk.

Mikrofilaria kemudian melepas selubungnya dan menembus lambung nyamuk menuju otot thoraks di mana mikrofilaria akan tumbuh, berganti kulit, dan berkembang menjadi larva infektif L1, L2, serta terakhir menjadi larva infektif stadium 3 (L3). Nyamuk terbang dan menghisap darah dari satu manusia ke manusia lain, sambil menularkan cacing stadium L3 yang masuk ke dalam darah melalui luka oleh gigitan nyamuk. Larva bermigrasi ke kelenjar limfe yang terdekat selanjutnya menjadi cacing dewasa dalam waktu sekitar 6-12 bulan. Setelah menjadi dewasa, terjadi kopulasi (Kawin) cacing betina dan cacing jantan. Satu ekor cacing dewasa betina dalam sehari dapat mengeluarkan hingaa 10.000 mikrofilaria. Cacing dewasa dapat hidup dalam tubuh manusia hingga 5-10 tahun dan menyebabkan berbagai masalah, karena kerusakan pembuluh limfe dan respons sistem imun yang dihasilkan.

Gejala
a. Gejla Klinik Akut
Gejala klinik akut terjadi setelah 6-16 bulan sejak cacing masuk ke dalam tubuh manusia lewat cucukan nyamuk. Pada mulanya, gejala penyakit kaki gajah dapat berupa pembesaran/peradangan kelenjar getah bening (limfadenitis dan limfangitis) di sekitar pangkal paha, ketiak atau di belakang lutut disertai panas tidak begitu tinggi hilang timbul, nyeri kelenjar, dan lesu. Keluhan biasanya terjadi setelah beraktivitas. Pada beberapa kasus serangan bisa hebat, sehingga penderita tidak dapat bekerja selama beberapa hari bahkan dapat terjadi abses kelenjar, memecah, membentuk lekukan (ulkus), dan meninggalkan parut yang khas, setelah tiga minggu -tiga bulan. Pada kasus yang ringan gejala akut seringkati hanya dianggap reumanik dan tidak dirasakan sebagai sesuatu yang penting. Serangan ini dapat terjadi 12 x/tahun sampai beberapa kali per bulan.

b. Gejala Menahun
Gejala menahun terjadi sekitar 4-10 tahun, setelah serangan akut pertama, gejala menahun ini ditandai dengan terjadinya pembesaran kaki/paha/lengan/buah zakar/payudara yang menyebabkan cacat. Pada pemeriksaan tahap ini jarang ditemukan cacing stadium mikrofilaria. (Rd. Ambar Sulianti, M.Kes., pemerhati panyakit tropis, mahasiswa S-3 FK Unpad)

Memperkuat Adat, Memperkokoh Kebangsaan

Seren Taun Kuningan 2010
Senin (29/11/2010), suara gong renteng bertalu-talu kembali menyambut kehadiran para tamu pada puncak acara tradisi seren taun di Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan. Reog, angklung buncis, angklung kanekes, calun, gamelan, dan tari tayub juga turut ambil bagian memeriahkan suasana ritus tahunan di Komplek Cagar Budaya Nasional Paseban Tri Panca Tunggal, Cigugur.

Diantara tamu undangan, hadir pula masyarakat adat di tatar sunda. Ada masyarakat Adat Karuhun Urang (Akur) Cigugur Kuningan selaku tuan rumah, masyarakat adat Kampung Naga Tasikmalaya, Kampung Dukuh, Kampung Kuta Ciamis, Kampung Cikondang Pangelangan Bandung, Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu, Pupuhu Karahayuan Pangawitan Panjalu, serta masyarakat Banten Kidul. Puncak seren taun bertepatan dengan tanggal 22 Rayagung (22 Zulhijah 1431 Hijriah).

Bagi masyarakat petani Sunda di Cigugur, tanggal 22 Rayagung memiliki makna dan arti mendalam. Bilangan 22 terdiri dari 20 dan 2. Bilangan 20 mempunyai arti sifat dan wujud yang menggambarkan keyakianan terhadap Tuhan Yang Maha Esa atas kemurahan-Nya. Terdapat 20 sifat wujud manusia, terdiri atas: 1. getih (darah), 2. daging, 3. bulu, 4. kuku, 5. rambut, 6. kulit, 7. urat, 8. polo (otak), 9. bayah (paru-paru), 10. ari (hati), 11. kalilipa (limpa), 12. mamaras (aras), 13. hamperu (empedu), 14. tulang, 15. sumsum, 16, lamad (lemak), 17. gegembung (lambung), 19. ginjal, dan 20. jantung.

Badan jasmani secara anatomis terbentuk dari 20 sifat yang menyatukan organ-organ dan sel-sel dengan fungsi beraneka ragam. Badan dipandang sebagai struktur hidup yang berproses menurut hukum adikondrati. Di dalam tubuh manusia ini, menjelma jirim (raga), jisim (nurani), dan pangakuan (aku).

Menurut pimpinan Paseban Rama Djatikusumah, dalam penghitungan tahun saka, bulan Rayagung penghujung hujan. Paling tepat untuk melaksanan upacara adat seren taun. Acara ini digelar satu tahun sekali, sebagai wujud luapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Seren berarti menyerahkan dari tahun yang terdiri 12 bulan. Diartikan sebagai upacara menyerahan hasil panen yang baru lewat, serta memohon berkah dan perlindungan untuk tahun yang akan datang. Seren taun sebagai pencerminan kesadaran pribadi atas hidup dan kehidupan.

Padi sebagai lambang kemakmuran. Naluri adikrodati nenek monyang Sunda menyadarkan bahwa di luar fenomena kehidupan ada yang berkuasa melebihi akal pikiran.

Padi tidak dapat dipisahkan dengan kisah Dewi Sri yang memberikan kesuburan atas utusan jabaning langit yang turun ke bumi. Pada upacara seren taun ini, pantun Sunda yang mengisahkan tentang Dewi Sri menjadi daya tarik bagi masyarakat agraris tatar Sunda. Tari Pwah Aci (Dewi Sri) merupakan tari spiritual yang mengisyaratkan ungkapan hormat dan bakti kepada Sang Pemberi Hidup. Padi merupakan sumber bahan makanan utama yang memengaruhi pada kedua puluh wujud manusia.

Secara simbolis, Rayagung berarti merayakan keagungan Tuhan. Pada tahun ini, acara diselenggarakan pada 18-22 Rayagung (24-29/11), dimulai upacara damar sewu dan ngajayak pda 18 Rayagung. Damar sewu merupakan sebuah gelaran budaya gambaran manusia dalam proses kehidupan manusia dalam proses kehidupan secara pribadi ataupun sosial.tahun ini, pagelaran diisi penanaman ribuan pohon di Bukit Hyang Mayasih.

Prosesi dilanjutkan upacara dadung yang merupakan upacara sakral masyarakat di Mayasih. Ini untuk meruwat dan menjaga kesimbangan agar hama dan unsur negatif tidak mengganggu. Kegiatan lain ngamomorekun, yakni upacara sakral dalam tradisi Sunda wiwitan di Kanekes (Baduy). Upacara “mempertemukan dan mengawinkan” benih padi jantan dan betina.

Sementara ngajayak berarti menerima dan menyambut. Simbol menerima dan menyambut cinta kasih atas kemurahan Tuhan Yang Maha Esa. Bilangan 18 dalam tanggal 18 Rayagung mengandung makna simbolis “Dalam bahsa Sunda 18 diucapkan dalapan welas, konotasinya welas asih atau kemurahan Gusti Yang Suci,” tutur Rama Djakusumah.

Puncak rangkaian kegiatan dengan menumbuk padi pada tanggal 22 Rayagung. Padi dikumpulkan masyarakat adat sebanyak 2.200 kg sejak enam hari sebelumnya, dan disimpan di tempat-tempat yang telah ditentukan di empat penjuru (barat, utara, selatan, dam timur). Padi hasil penumbukan setengahnya dibagikan kepada peserta. Setengah lainnya untuk badan-badan sosial dan fakir miskin di Cigugur. (H.Toto Santosa /”PR”)